TRIBUNBANYUMAS.COM, SEMARANG - Menjelang penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) Jawa Tengah tahun 2026 yang dijadwalkan serentak pada 24 Desember 2025, suara buruh kembali mengemuka.
Di balik formula resmi yang disiapkan pemerintah, para pekerja berharap kenaikan upah benar-benar mampu menjawab tekanan biaya hidup yang terus meningkat.
“Kalau cuma naik enam persen, rasanya masih berat. Harga kontrakan, makan, dan transportasi naiknya lebih dulu,” ujar Rudi Hartono, satu di antara buruh pabrik di kawasan industri Kota Semarang, Kamis (18/12/2025).
Keluhan serupa juga disampaikan Siti Aminah, pekerja sektor ritel di pusat kota Semarang. Menurutnya, kenaikan UMK dalam beberapa tahun terakhir belum sepenuhnya sejalan dengan kebutuhan hidup layak.
“Upah naik, tapi biaya sekolah anak, listrik, sama bahan pokok juga ikut melonjak. Jadi dampaknya ke kesejahteraan belum terasa,” katanya.
Pemerintah Provinsi Jawa Tengah sendiri memastikan penetapan UMP, UMK, UMSP, dan UMSK tahun 2026 akan dilakukan serentak pada 24 Desember 2025 oleh Gubernur Jawa Tengah Ahmad Luthfi.
Kepala Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Jawa Tengah, Ahmad Aziz, menjelaskan bahwa penetapan upah minimum masih menggunakan formula yang mengacu pada inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan faktor alfa.
“Rumusannya inflasi ditambah pertumbuhan ekonomi dikalikan alfa. Rentang alfa berada di antara 0,5 sampai 0,9, dan ini akan dibahas di dewan pengupahan,” jelas Aziz beberapa waktu lalu.
Ia menegaskan, nilai alfa akan menjadi ruang diskusi antara pemerintah, pengusaha, dan perwakilan buruh dalam Dewan Pengupahan.
Sebagai salah satu barometer ekonomi di Jawa Tengah, Kota Semarang mencatat tren kenaikan UMK yang relatif stabil dalam lima tahun terakhir.
Di mana UMK Kota Semarang pada 2021 di angka Rp 2.810.025, pada 2022 Rp 2.835.021, 2023 Rp 3.060.349, 2024 mencapai Rp 3.243.969 dan 2025 Rp 3.454.827.
Dalam rentang 2021-2025, UMK Kota Semarang naik sekitar 23 persen. Namun, buruh menilai kenaikan tersebut belum sepenuhnya mengimbangi laju inflasi dan kenaikan biaya hidup di perkotaan.
Jika dibandingkan dengan daerah industri besar di Pulau Jawa, posisi UMK Kota Semarang masih cukup tertinggal.
UMK Kota Bekasi misalnya, pada 2025 sekitar Rp 5,69 juta. Kemudian Kota Surabaya sekitar Rp 4,96 juta sedangkan di Kota Semarang hanya Rp 3,45 juta.
Artinya, UMK Semarang masih terpaut lebih dari Rp 2 juta dibanding Bekasi dan sekitar Rp 1,5 juta dibanding Surabaya.
Sementara itu, Pemerintah Kota Semarang berencana mengusulkan kenaikan UMK sebesar 6,5 persen untuk tahun 2026.
Kepala Disnaker Kota Semarang, Sutrisno, mengatakan pembahasan dengan Dewan Pengupahan Kota akan dilakukan pada 19 Desember 2025 sebelum diajukan ke Gubernur.
“Rumusannya mengikuti Peraturan Pemerintah. Dengan asumsi itu, UMK Semarang diperkirakan di kisaran Rp 3,6–3,7 juta, tergantung nilai alfa yang disepakati,” jelasnya.
Baca juga: Longsor Rusak Rumah, Warga Darmakeradenan Banyumas Tuntut Pabrik Semen Bima Tanggung Jawab
Wali Kota Semarang Agustina Wilujeng menyatakan pemerintah kota berupaya mencari titik temu antara kepentingan pekerja dan pengusaha.
“Kami ingin usulan ini bisa diterima semua pihak, tetap menjaga iklim usaha, tapi juga memberi perlindungan bagi pekerja,” ujarnya.
Meski memahami keterbatasan regulasi, buruh berharap pemerintah tidak hanya berpatokan pada formula matematis.
“Harapannya bukan cuma naik sesuai rumus, tapi benar-benar melihat kondisi riil di lapangan,” kata Andi Prasetyo, buruh sektor logistik di Semarang.
Ia menilai, tanpa pengendalian harga kebutuhan pokok dan biaya perumahan, kenaikan UMK berisiko hanya menjadi angka di atas kertas.