TRIBUNNEWS.COM - Setelah banjir besar melanda Pulau Sumatera, meliputi Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara, kini Provinsi Bali diterjang hujan deras yang memicu banjir di sejumlah kawasan.
Warga mengaku ketakutan karena curah hujan ekstrem selama berjam-jam terasa semakin menakutkan dan sulit diprediksi, membuat ancaman banjir seolah tak bisa ditebak.
Pada November lalu bencana banjir di tiga provinsi di Pulau Sumatera menelan 1.068 orang korban jiwa hingga Kamis (18/12/2025).
Selain korban meninggal dunia, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat jumlah korban hilang tercatat sebanyak 190 orang, mengalami penurunan dibandingkan data Rabu (17/12) yang mencapai 192 orang.
Baca juga: Banjir Sumatra, Feri Amsari: Prabowo Turun Langsung pun Tak Sembuhkan Total Luka Psikologi Warga
Seorang warga Bali mengaku ketakutan menghadapi ancaman bencana banjir.
Hal ini, karena hujan tidak bisa ditebak.
Hal itu disampaikan melalui video yang ditayangkan akun media sosial Instagram infobalinesia.id pada Rabu (17/12/2025)
“Jujur ini ya sebagai warga Bali sekarang saya sudah tidak takut lagi dengan hantu malam-malam, kenapa? karena lebih menakutkan hujan. Teman saya punya dia cerita, dia takut dengan penampakan hantu 3 meter di malam hari sampai kepikiran sekarang saya tidak takut dengan hantu tetapi takut dengan hujan 3 jam lebih berbahaya. Soalnya banjir itu tidak bisa ditebak. Rumah mana jalan mana tiba-tiba banjir saja. Saya takutnya kan tidur 3 jam bangun-bangun surfing di Sanur. Maunya tidur malah surfing. Takut,” kata seorang pria berkacamata di video tersebut.
Kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU) Provinsi Bali, Nusakti Yasa Wedha, memaparkan penyebab utama banjir yang kembali melanda Pulau Dewata. Menurutnya, sistem drainase jalan sejatinya berfungsi dengan baik, namun curah hujan ekstrem membuat kapasitasnya tidak mampu menampung limpasan air.
“Drainase jalan dirancang untuk menampung run off dari badan jalan sebelum dialirkan ke sungai terdekat. Namun tingginya volume air dari catchment area yang luas, ditambah perubahan tata guna lahan, membuat drainase tidak mampu menampung sesuai kapasitas perencanaan,” ujar Nusakti, Kamis (18/12).
Ia menambahkan, di sejumlah lokasi terjadi luapan air dari saluran irigasi ke drainase jalan karena debit air irigasi melebihi kapasitas. Nusakti juga menyoroti masih adanya penggabungan fungsi antara saluran irigasi dan drainase, yang secara prinsip seharusnya dipisahkan.
“Saluran irigasi berfungsi menaikkan muka air untuk sawah, sementara drainase justru menurunkan muka air untuk mencegah genangan. Jika digabung, tentu berpotensi menimbulkan banjir,” jelasnya.
PU Bali menegaskan perlunya pembangunan sistem drainase permukiman dan perkotaan yang terpisah, serta perbaikan saluran rusak dan pembersihan sedimen secara berkala.
Baca juga: Penanganan Pasca-Bencana Banjir Sumatra, BNPB Sebut Aceh sebagai PR: 6 Kabupaten Tanggap Darurat
Pengamat isu perkotaan sekaligus akademisi Universitas Warmadewa, Gede Maha Putra, menilai banjir di Bali hampir terjadi setiap tahun, namun penanganannya belum selaras dengan siklus musim hujan.
“Cuaca ekstrem ini seharusnya sudah bisa diantisipasi. Siklus hujan umumnya Oktober–Maret, sehingga persiapan menghadapi dampak terburuk perlu dilakukan sejak awal,” ujarnya.
Ia menyoroti proyek drainase yang sering kali baru dikerjakan di akhir tahun karena pola politik anggaran, bukan kebutuhan mitigasi bencana. Dari sisi tata ruang, pembangunan di Bali dinilai belum cukup sensitif terhadap risiko banjir, ditambah alih fungsi lahan sawah yang mengurangi ruang resapan.
Menurutnya, Bali membutuhkan proyek besar mitigasi banjir seperti pembangunan danau buatan, kanal pengendali banjir, serta taman kota yang lebih porous. “Jika tidak ada perubahan serius, banjir akan terus menjadi masalah tahunan,” tegasnya.