BANGKAPOS.COM - Ketua Komisi Percepatan Reformasi Polri, Jimly Asshiddiqie sudah tahu alasan Polri menerbitkan Perpol Nomor 10 Tahun 2025.
Alasan penerbitan Perpol tersebut menurut Jimly didapat dari Wakapolri, Komjen Dedi Prasetyo, yang turut hadir dalam rapat pleno membahas Perpol 10/2025 pada Jumat (18/12/2025).
Dedi, kata Jimly, menegaskan terbitnya Perpol bukan untuk melanggar putusan MK, tetapi demi mengatur kembali polisi aktif yang terlanjur menjabat di institusi sipil setelah adanya putusan tersebut.
Selain itu, Dedi juga menyebut pasca adanya putusan MK tersebut, maka tidak ada lagi penugasan dari Kapolri kepada jajarannya untuk menjabat di institusi sipil.
"Komitmennya (Polri) setelah ada putusan MK, tidak ada lagi penugasan baru, jadi sudah clear."
Baca juga: Tanggapi Perpol No 10 Tahun 2025, Mahfud MD Sebut Bertentangan dengan Putusan MK
"Cuma yang sudah keburu menduduki jabatan, harus diatur dulu yang mana-yang mana sebagainya. Sehingga itulah perlunya ada PP, terintegrasi, sebelum ada undang-undang dengan omnibus," jelas Jimly seusai menggelar rapat pleno membahas Perpol 10/2025.
Perpol 10/2025 yang diterbitkan pada Selasa, 16 Desember 2025 itu mengatur penugasan anggota Polri untuk dapat menduduki jabatan di 17 kementerian dan lembaga negara di luar struktur Polri.
Perpol ini tengah menjadi perdebatan publik lantaran dianggap membangkang terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 114/PUU-XXIII/2025.
Pasalnya, Perpol tersebut mengatur 17 kementerian atau lembaga (K/L) yang bisa diduduki polisi aktif.
Jimly mengatakan Komisi Percepatan Reformasi Polri akan memperbaiki Peraturan Kepolisian (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 dan akan dijadikan status aturannya menjadi Peraturan Pemerintah (PP).
Dia mengatakan keputusan tersebut diambil setelah Komisi Reformasi Polri menggelar rapat pleno pada Jumat (18/12/2025).
Sementara, berdasarkan putusan MK, ketika akan ada polisi yang menjabat di institusi sipil maka harus mengundurkan diri atau pensiun.
Kembali lagi ke Jimly, dia menuturkan metode yang akan digunakan dalam mengubah status hierarki perundangan-undangan Perpol tersebut yakni omnibus.
Metode omnibus adalah teknik penyusunan peraturan perundang-undangan yang menggabungkan banyak materi muatan dari berbagai undang-undang berbeda menjadi dalam satu undang-undang.
Hal ini dilakukan untuk mengubah, mencabut, atau mengesahkan aturan secara sekaligus demi mengatasi disharmoni dan adanya penyederhanaan regulasi di satu tema aturan tertentu.
Mantan Ketua MK itu juga mengungkapkan keputusan ini menjadi solusi ketika adanya keterkaitan antara aturan di salah satu instansi dengan aturan di instansi lainnya.
"Begitu juga tentang PP, sudah jelas PP ini nanti banyak sekali kaitannya dengan undang-undang lain yang bisa dijadikan solusi untuk pembenahan sistem aturan yang tidak harmonis satu dengan yang lain."
"Termasuk misalnya keluhan terkait Perpol kemarin. Substansinya berkenaan dengan lintas instansi, maka solusinya kita angkat ke aturan lebih tinggi supaya dia (isi Perpol) tidak hanya mengikat ke dalam tapi ke instansi yang lain," katanya di Jakarta.
Jimly menuturkan pihaknya bakal mengusulkan keputusan ini ke beberapa menteri seperti Menko Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra; Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas; hingga Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian.
"Di mana Komisi Percepatan Reformasi Polri akan menyampaikan masukan-masukan dalam rapat koordinasi antar kementerian," ujarnya.
Pada kesempatan yang sama, anggota Komisi Percepatan Reformasi Polri, Mahfud MD mengungkapkan terkait keputusan resmi nasib Perpol Nomor 10 Tahun 2025 akan diumumkan langsung oleh Mabes Polri.
"Jadi, nanti yang akan mengumumkan nasib Perpol 10 Tahun 2025 adalah Mabes Polri. Entah momentum apa yang akan ditentukan."
"Yang jelas, keputusannya itu sambil menunggu proses dimasukkan ke peraturan yang lebih tinggi," tuturnya.
Sebelumnya, Jimly telah mengungkapkan bahwa Perpol Nomor 10 Tahun 2025 memang ada kesalahan yaitu tidak adanya frasa 'menimbang dan mengingat' yang merujuk pada putusan MK.
“Apa contohnya? Lihat pertimbangan menimbang dan mengingatnya, itu ada yang tidak tepat," ujar Jimly di Kantor Kementerian Sekretariat Negara, Jakarta, Rabu (17/12/2025).
“(Bagian) Menimbangnya itu, tidak ada sama sekali menyebut putusan MK. (Bagian) Mengingatnya pun tidak sama sekali menyebut putusan MK," lanjutnya.
Dia mengatakan Perpol itu justru merujuk pada UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri alih-alih ke putusan MK terbaru.
Sehingga, dia setuju bahwa Perpol itu memang bertentangan dengan putusan MK.
“Ya eksplisit memang begitu, mengingatnya enggak ada. Artinya putusan MK yang mengubah undang-undang enggak dijadikan rujukan,” kata Jimly.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo membantah anggapan bahwa penerbitan Perpol 10/2025 merupakan bentuk pembangkangan terhadap putusan MK.
Ia menegaskan Polri justru menghormati dan menindaklanjuti putusan tersebut.
“Polri menghormati putusan MK. Karena itu kami melakukan konsultasi dengan kementerian dan stakeholder terkait sebelum menerbitkan Perpol,” kata Listyo di Istana Negara, Jakarta Pusat, Senin (15/12/2025), seperti ditayangkan Kompas TV.
Menurut Kapolri, Perpol tersebut diterbitkan untuk memberi batasan teknis agar implementasi putusan MK tidak menimbulkan multitafsir.
Ia juga menegaskan aturan itu tidak berlaku surut.
Anggota Polri aktif yang telah lebih dulu menduduki jabatan di kementerian atau lembaga sipil sebelum putusan MK dibacakan, kata Listyo, tetap dapat melanjutkan jabatannya.
Hal itu sejalan dengan penjelasan Kementerian Hukum.
Ke depan, Perpol Nomor 10 Tahun 2025 disebut akan diperkuat melalui peraturan pemerintah (PP) dan substansinya dimasukkan dalam revisi Undang-Undang Polri.
“Perpol ini nantinya akan ditingkatkan menjadi PP dan kemungkinan dimasukkan dalam revisi UU Polri. Terhadap yang sudah berjalan, tentu tidak berlaku surut,” kata Listyo.
Dalam Perpol tersebut, anggota Polri yang ditugaskan ke luar struktur organisasi harus melepaskan jabatannya di lingkungan Polri. Ketentuan tersebut diatur pada Pasal 1 ayat 1.
Sementara, pada Pasal 2, menyebutkan bahwa pelaksanaan tugas dapat dilakukan di dalam maupun luar negeri.
Adapun Pasal 3 ayat 1 mengatur penugasan dalam negeri yang mencakup kementerian, lembaga, badan, komisi, hingga organisasi internasional atau kantor perwakilan negara asing di Indonesia.
Lalu, pada Pasal 3 ayat 2, tertuang rincian 17 kementerian dan lembaga yang dapat diisi oleh anggota Polri.
Kemudian, pada Pasal 3 ayat 4, tertulis bahwa jabatan yang akan diemban harus berkaitan dengan tupoksi Polri.
Berikut daftar 17 Kementerian dan Lembaga yang bisa ditempati anggota Polri:
(Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto/Mario Christian Sumampow, Erik S)