Tanpa Mesin, di Patani Coffee Leuwiliang Bogor Kopi Disangrai Pakai Gerabah dan Bambu
December 19, 2025 06:07 PM

TRIBUNNEWSBOGOR.COM - Ditengah maraknya kedai kopi modern yang mengusung estetika Barat dan mesin espresso berteknologi tinggi, Patani Coffee di Leuwiliang, Kabupaten Bogor, tetap hadir sebagai ruang yang menjaga warisan rasa kopi di Indonesia.

Kedai ini mengandalkan alat-alat tradisional dari tanah liat dan bambu, sehingga pengunjung bisa menikmati kopi yang otentik, hangat, dan dekat dengan akar budaya lokal.

Patani Coffe merupakan gagasan Muhammad Arifin (51) yang telah menetap di Leuwiliang.

Didirikan pada 2017, kedai ini awalnya bernama Farmer Coffee.

Namun, karena masyarakat sekitar kesulitan melafalkan huruf “F”, Arifin mengganti nama kedainya menjadi Patani, yang dalam bahasa Sansekerta berarti “merawat”.

Nama ini dipilih untuk menggambarkan semangatnya dalam merawat tradisi pengolahan kopi lokal yang turun-temurun.

KULINER BOGOR - Patani Coffee Leuwiliang, kopi lokal dengan cita rasa yang selalu bikin rindu kehangatan sudut Bogor.
KULINER BOGOR - Patani Coffee Leuwiliang, kopi lokal dengan cita rasa yang selalu bikin rindu kehangatan sudut Bogor. (TribunnewsBogor.com/Fifi Sulistiawati Dewi/Institut Ummul Quro Al Islami Bogor)

Arifin menuturkan, konsep tradisional yang diusungnya lahir dari keprihatinan melihat trend kopi modern yang semakin mendominasi anak muda.

Ia berharap metode yang digunakannya bisa memperkenalkan kembali kekayaan rasa kopi lokal yang sesungguhnya.

“Saya ingin mempertahankan tradisi nenek moyang agar rasa kopi tetap terjaga keasliannya tanpa campuran apapun,”ujarnya.

Keunikan Patani Coffee terlihat jelas dari proses pengolahan biji kopinya.

Semua kopi berasal dari kebun petani lokal Leuwiliang, yang ditanam, dipanen, dan diolah langsung oleh Arifin.

Setelah buah kopi matang di pohon dan dipanen, biji kopi dijemur lalu ditumbuk untuk memisahkan kulitnya.

Proses sangrai menjadi bagian paling menarik karena Arifin menggunakan gerabah tanah liat buatan sendiri.

Menurutnya, penggunaan gerabah mampu memisahkan getah kopi secara alami sehingga menghasilkan rasa kopi yang lebih murni, lembut, dan tidak menimbulkan efek seret di tenggorokan.

Keunikan tersebut bahkan menarik perhatian dunia internasional.

Baca juga: Neduh Kopi, Ngopi Berasa di Halaman Rumah Sendiri, Bangkit dari Pandemi Kini Paling Digemari

Peralatan tradisional Arifin pernah di repost oleh barista asal Jerman, Brittan Sella, karena dianggap memiliki karakter berbeda dan jarang ditemui.

Tidak hanya proses roasting, teknik penyeduhan di Patani Coffee pun tetap menjaga pakem tradisional.

Arifin menggunakan alat bambu drip, sedotan pakis, serta berbagai peralatan kayu buatan sendiri.

Menurutnya, setiap unsur alami turut mempengaruhi karakter rasa kopi yang disajikan.

Soal harga, Patani Coffee menyediakan pilihan yang terjangkau bagi pecinta kopi lokal.

Untuk 100 gram kopi robusta dibanderol Rp35.000, sementara arabika, java excelsa, java liberica, dan wine arabica dijual Rp55.000 per 100 gram.

Salah satu varian andalannya, Sundageysa Arabica, dijual Rp110.000 per 100 gram karena kualitasnya pernah mengantarkan Indonesia meraih juara tiga dunia di Turki.

Dengan modal awal hanya sekitar Rp250.000, Arifin kini mampu meraup omzet harian antara Rp750.000 hingga Rp1 juta.

KULINER BOGOR - Begini cara kopi lokal dijaga keasliannya di sangrai dengan alat tradisional gerabah, yang membuat aroma dan rasa kopi maksimal.
KULINER BOGOR - Begini cara kopi lokal dijaga keasliannya di sangrai dengan alat tradisional gerabah, yang membuat aroma dan rasa kopi maksimal. (TribunnewsBogor.com/Fifi Sulistiawati Dewi/Institut Ummul Quro Al Islami Bogor)

Omzet ini meningkat signifikan saat akhir pekan karena banyak pengunjung dari luar daerah yang datang khusus untuk mencoba kopi tradisionalnya.

Salah satu pengunjung, Hasna Zakiyyatu Salma, mengaku baru pertama kali datang ke kedai tersebut. Ia tertarik karena ingin melihat langsung proses pembuatan kopi tradisional.

“Tempatnya enak, nyaman, vibes seperti di kampung halaman,” tuturnya.

Dari berbagai menu yang tersedia, ia menyebut Kopi Tarik sebagai favorit karena rasanya lembut dan nikmat.

Arifin berharap Patani Coffee dapat terus berkembang dan menjadi tempat edukasi bagi generasi muda untuk mengenal kopi lokal lebih dalam.

Ia ingin mereka memahami bahwa kopi tradisional memiliki karakter unik yang tidak kalah menarik dibanding kopi modern.

“Semoga makin banyak yang tahu, makin ramai pengunjung, dan anak muda bisa merasakan kopi tradisional juga,” harapnya.

Patani Coffee semakin dikenal melalui promosi dari mulut ke mulut, pameran, hingga liputan berbagai kanal media.

Meski berjalan sederhana, kedai ini tetap hadir sebagai penjaga rasa dan tradisi di tengah dunia kopi yang terus berubah.

Kalau Anda pecinta kopi sejati dan ingin merasakan sensasi kopi otentik ala tradisi lokal, Patani Coffee di Leuwiliang wajib dikunjungi.

(Fifi Sulistiawati Dewi/Institut Ummul Quro Al Islami Bogor)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.