UGM Rancang Hunian Sementara dari Kayu Hanyutan untuk Penyintas Banjir Sumatera
December 20, 2025 01:14 AM

TRIBUNJOGJA.COM - Banjir dan tanah longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat menyebabkan lebih dari seribu korban jiwa serta ratusan ribu rumah rusak. Di tengah kebutuhan mendesak akan hunian layak bagi penyintas, Universitas Gadjah Mada merancang konsep hunian sementara berbasis kayu hanyutan banjir yang dapat dibangun cepat dan melibatkan masyarakat terdampak.

Bencana banjir dan tanah longsor di tiga provinsi tersebut menimbulkan dampak kemanusiaan yang luas. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, hingga 18 Desember, jumlah korban jiwa mencapai 1.059 orang.

Selain itu, 192 orang masih dinyatakan hilang dan sekitar 147 ribu rumah mengalami kerusakan. Kondisi ini membuat ribuan keluarga harus bertahan tanpa tempat tinggal layak, sementara proses pembangunan hunian tetap diperkirakan memerlukan waktu panjang.

Merespons situasi tersebut, Universitas Gadjah Mada (UGM) melalui grup penelitian “Tangguh” mengembangkan rancangan hunian transisi bagi para penyintas. Grup ini merupakan kolaborasi lintas keilmuan dari Arsitektur, Teknik Sipil, serta Perencanaan Wilayah dan Kota, yang melibatkan Prof. Ir. Ikaputra, M.Eng., Ph.D., Ir. Ashar Saputra, ST, MT, Ph.D., IPM., ASEAN.Eng., Maria Ariadne Dewi Wulansari, S.T., M.T., Atrida Hadianti, S.T., M.Sc., Ph.D., dan Ardhya Nareswari, S.T., M.T., Ph.D.

Ardhya Nareswari menjelaskan, konsep hunian sementara ini berangkat dari kondisi riil di lapangan. Besarnya jumlah korban, kerusakan bangunan yang mencapai puluhan ribu unit, serta lokasi terdampak yang bersifat terpencil dan sulit diakses membuat proses pemulihan dan pembangunan hunian tetap tidak dapat dilakukan dalam waktu singkat.

“Jumlah korban yang sangat besar, termasuk kerusakan bangunan yang mencapai puluhan ribu unit, serta lokasi terdampak yang bersifat remote dan sulit diakses, membuat proses pemulihan dan pembangunan hunian tetap akan berjalan lama, dan diperkirakan mencapai tahunan. Sedangkan para penyintas sendiri belum memiliki tempat tinggal yang layak untuk menunggu dalam waktu selama itu,” ujar Nares, Jumat (19/12), saat mock-up hunian sementara dibangun di Laboratorium Struktur, Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknik UGM.

Menurut Nares, penggunaan terpal atau tenda darurat tidak memadai jika penyintas harus bertahan dalam jangka waktu panjang. Ia menilai, hunian sementara perlu dirancang dengan pendekatan yang lebih manusiawi.

“Berarti, bisa jadi warga itu akan berada di lokasi itu sebelum ada hunian yang tetap, itu pasti dalam jangka waktu yang lama. Jadi, terpal atau tenda sementara rasanya kok kurang manusiawi,” katanya.

Hunian transisi yang dirancang tim UGM mengedepankan prinsip berbasis keluarga, bukan komunal, dengan ukuran standar yang memadai. Material yang digunakan berasal dari bahan lokal yang mudah diperoleh dan dapat didaur ulang, yakni kayu hanyutan banjir yang tersedia di lokasi terdampak. Selain itu, teknologi konstruksi yang diterapkan dibuat sesederhana mungkin agar mudah dipahami masyarakat.

“Prinsipnya menggunakan bahan lokal yang dapat didaur ulang, dalam hal ini adalah kayu hanyutan banjir yang tersedia di lokasi. Selanjutnya, menggunakan teknologi sederhana dengan hubungan antar kayu tanpa takikan. Yang tidak kalah penting pelibatan penyintas pada proses pembangunan, untuk meningkatkan rasa kepemilikan,” paparnya.

Dari sisi struktur, Ir. Ashar Saputra menjelaskan bahwa konsep hunian sementara dan hunian tetap yang dirancang menggunakan papan kayu berukuran 3 x 12 sentimeter. Material utama berasal dari kayu hanyutan banjir yang dinilai cukup tahan dalam berbagai kondisi cuaca.

“Material utama yang dipilih adalah kayu yang berasal dari hanyutan banjir. Kayu relatif tahan hingga 3–4 tahun dalam berbagai kondisi cuaca. Strukturnya hanya pakai baut saja dan alatnya hanya bor. Harapannya itu, sangat sederhana sehingga orang awam dapat membuat rumahnya sendiri. Tempel, gapit, baut,” ungkap Ashar.

Konsep pembangunan berbasis partisipasi masyarakat ini diharapkan dapat mempercepat penyediaan hunian sementara. Selain itu, keterlibatan warga dalam proses pembangunan diyakini akan menumbuhkan rasa memiliki terhadap hunian yang dibangun.

“Daripada kita harus menunggu satu rumah jadi satu-satu. Masyarakat juga akan merasa lebih memiliki, karena ikut serta dalam pembuatannya,” tegasnya.

Terkait masa pakai, hunian transisi ini diperkirakan dapat digunakan selama 3–5 tahun. Rentang waktu tersebut disesuaikan dengan proses perencanaan hunian permanen yang membutuhkan tahapan panjang, mulai dari penyusunan peta kerawanan bencana hingga penentuan lokasi aman untuk dihuni atau direlokasi.

Sebelumnya, konsep hunian transisi serupa telah diterapkan di sejumlah wilayah terdampak bencana seperti Yogyakarta, Lombok, dan Palu. Namun, menurut Nares, setiap lokasi memiliki karakteristik berbeda sehingga desain harus disesuaikan dengan kondisi setempat.

“Desain disesuaikan dengan ketersediaan material, kondisi tanah, topografi, budaya setempat, kebiasaan pemanfaatan ruang seperti keberadaan teras untuk bersosialisasi, serta modal sosial yang ada di masyarakat. Desain tetap mengacu pada standar minimum 36 meter persegi,” ujarnya.

Ia menambahkan, pemilihan material juga sangat bergantung pada aksesibilitas wilayah terdampak. “Kalau di Lombok waktu itu pakai baja, lokasinya masih memungkinkan untuk membawa baja dari Pulau Jawa. Kalau Sumatera, lebih susah. Jadi, pemilihan material itu juga sangat tergantung lokasinya,” kata Nares.

Saat ini, proyek hunian sementara berbasis kayu hanyutan banjir tersebut masih berada pada tahap pembuatan mock-up dan perancangan teknis. Tahap berikutnya adalah penyusunan brosur, poster, serta modul pelatihan agar masyarakat lokal dapat membangun hunian transisi secara mandiri.

“Harapannya, nanti kita susun juga modul untuk pelatihan, karena kita ingin warga lokal sendiri yang melaksanakan supaya mereka bisa lebih cepat mendapat rumah mereka kembali,” pungkas Nares.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.