TRIBUNNEWS.COM – Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyoroti konflik yang terjadi di tubuh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
Ia menilai polemik tersebut telah menimbulkan dualisme kepemimpinan yang berdampak serius terhadap jalannya organisasi.
Menurut Mahfud, konflik yang berlangsung saat ini memang belum sampai pada tahap membahayakan, tetapi sudah cukup untuk membuat roda organisasi tidak berjalan normal.
“Konflik sekarang ini menurut saya sudah cukup yang mau membahayakan, mungkin terlalu berat kalau dibilang membahayakan, tapi membuat organisasi macet,” ujar Mahfud dalam program Terus Terang tayang di YouTube Mahfud MD Official, Sabtu (19/12/2025).
Mahfud menjelaskan kemacetan organisasi terjadi karena adanya dualisme kepemimpinan.
Di satu sisi, Rais Aam PBNU K.H. Miftachul Akhyar menyatakan pemberhentian Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya dari jabatan Ketua Umum PBNU.
Namun di sisi lain, Gus Yahya secara yuridis dan administratif masih diakui oleh pemerintah.
“Karena sekarang ada dualisme. Pertama ada Kiai Miftachul Akhyar yang dengan tegas memberhentikan Gus Yahya. Lalu Gus Yahya Staquf sendiri secara yuridis administratif masih diakui oleh pemerintah,” kata Mahfud.
Dalam kacamata hukum administrasi negara, lanjut Mahfud, kedua pihak tersebut tidak bisa berjalan sendiri-sendiri.
Menurutnya, langkah sepihak dari Rais Aam tidak otomatis mengubah keputusan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) terkait keabsahan kepengurusan PBNU.
“Menurut kacamata hukum pemerintah ini tidak bisa berjalan sendiri-sendiri. Langkah Kiai Miftachul Akhyar ini tidak akan bisa mengubah keputusan di Kumham tentang keabsahan dan pelayanan administratif tanpa melalui Gus Yahya,” jelas Mahfud.
Baca juga: Islah Bahrawi: Polemik PBNU Dipicu Tambang dan Oknum Kiai Cari Cuan
Sebaliknya, Mahfud juga menilai Gus Yahya tidak bisa mengambil langkah sepihak tanpa melibatkan unsur kepemimpinan lainnya.
Kondisi ini, kata dia, membuat PBNU berada dalam situasi saling mengunci.
“Sama juga Gus Yahya mau sepihak juga bisa dihadang di sini, saling mengunci, karena administrasi hukumnya itu menyatakan ini dua lembaga yang harus sama-sama menandatangani di dalam setiap keputusan-keputusan jamiah,” ujarnya.
Atas kondisi tersebut, Mahfud berharap penyelesaian konflik PBNU dapat ditempuh melalui jalan islah.
Islah berarti perbaikan, pemulihan, atau perdamaian, bertujuan untuk menghentikan kerusakan, meningkatkan kualitas sesuatu, dan menciptakan keharmonisan atau kemaslahatan dalam berbagai aspek kehidupan pribadi maupun sosial.
Ia menekankan bahwa islah tidak selalu berarti perdamaian formal, melainkan saling memahami dan kembali berjalan bersama demi organisasi.
“Oleh sebab itu semuanya berharap ini bisa islah. Islah itu tidak harus perdamaian dalam arti formal, islah itu saling mengerti saja lalu ayo jalan bersama, semua ini dilupakan,” kata Mahfud.
Ia juga menyebut muktamar bisa menjadi bagian dari proses islah, meski tetap perlu dipikirkan matang-matang agar tidak menambah persoalan baru.
Menurut Mahfud, yang terpenting adalah menghadirkan penyelesaian yang sejuk dan menenangkan warga NU.
“Kita jamaah kan sedih, rindu pada cara penyelesaian yang sangat sejuk. Betapapun konflik itu berat, kiai selalu menjadi rujukan. Kiainya biasanya harus kompak, tapi sekarang kiainya pun nggak kompak, kan susah kita yang jamaah ini,” kata Mahfud.
(Tribunnews.com/Galuh Widya Wardani)