SRIPOKU.COM - Alasan Presiden ke-7 Republik Indonesia, Joko Widodo (Jokowi) tegas untuk tidak memberi ampun kepada tiga orang yang terus menggeruduk keaslian ijazah yang dimilikinya.
Ketiga orang tersebut, yakni Roy Suryo, Rismon Sianipar, dan Tifauzia Tyassuma. Tiga orang tersebut dinilai Jokowi tidak layak mendapatkan pengampunan.
Bukan tanpa alasan, ketiganya dianggap sudah melampaui batas kewajaran sehingga perlu diberi sanksi sebagai efek jera.
“Ada tiga nama yang kelihatannya terlalu ekstrem. Mereka tidak pernah mau menerima fakta bahwa ijazah Pak Jokowi itu benar, meskipun polisi sudah melakukan gelar perkara dan membuktikannya," Ketua Umum Barisan Relawan Jokowi Presiden-Jalan Perubahan (Bara JP), Willem Frans Ansanay, dikutip dari Wartakota, Minggu (21/12/2025).
Baca juga: Polisi Persilakan Roy Suryo Cs Ajukan Praperadilan dalam Kasus Tudingan Ijazah Palsu Jokowi
"Tindakan mereka dijerat pasal berlapis, dan untuk mereka, Pak Jokowi akan teruskan proses hukumnya agar ada efek jera,” sambung Willem.
Hal ini disampaikan Willem setelah menemui Jokowi di kediaman pribadinya di Sumber, Solo, Jawa Tengah, Jumat (19/12/2025).
Willem menyebutkan, dalam diskusi empat mata tersebut, Jokowi menegaskan dirinya bukanlah tipikal pemimpin pendendam dan menyatakan sikap terbukanya untuk memaafkan sebagian besar tersangka yang terlibat dalam kasus tudingan ijazah palsu.
Dari 12 nama yang terseret dalam pusaran kasus ini, kata Willem, Jokowi bersedia memberikan pengampunan kepada mereka yang sekadar terbawa arus.
“Pak Jokowi menyampaikan, beliau bukan orang yang tidak pemaaf. Jadi dari 12 nama itu, tidak semua akan dituntut terus. Sebagian besar akan dimaafkan,” ujar Willem.
Meski membuka pintu maaf, Willem menegaskan bahwa Jokowi memberi garis demarkasi yang tegas. Jokowi menegaskan proses hukum akan tetap berjalan bagi tiga nama utama yang dinilai bertindak terlalu ekstrem dan menolak fakta hukum.
Willem menambahkan, Bara JP mendukung penuh langkah Jokowi tersebut. Menurutnya, ijazah Jokowi yang asli sudah divalidasi dan dipublikasikan oleh penyidik Polri.
Narasi yang terus digaungkan oleh kelompok ini dinilai sebagai upaya pembodohan publik yang harus dihentikan lewat jalur hukum.
Selain membahas kasus hukum, pertemuan tersebut juga menyinggung peta politik pasca-kepemimpinan Jokowi.
Willem menilai serangan isu ijazah palsu ini bukan sekadar masalah administrasi, melainkan upaya sistematis untuk mendegradasi kredibilitas Jokowi dan keluarganya, sekaligus sebagai langkah "curi start" menuju Pilpres 2029.
“Ini rangkaian menuju 2029. Setelah kami suarakan Prabowo-Gibran dua periode, banyak pihak yang menentang karena dianggap terlalu dini. Namun, mereka yang menentang itu justru sudah 'keluar dari sarang' dan bermanuver seolah ingin maju sebagai capres,” ungkap Willem.
Willem juga menyerukan agar kegaduhan yang tidak produktif ini segera diakhiri.
Ia meminta semua pihak berhenti mempolitisasi hal yang sudah jelas kebenarannya dan mulai fokus membantu pemerintah menangani masalah nyata, seperti bencana banjir yang melanda sejumlah daerah.
“Kita ingin bangsa ini aman. Banjir ada di mana-mana, situasi perlu ditangani dengan baik. Berhentilah membuat kegaduhan di tengah bangsa kita,” ujar Willem.
“Yang bisa dimaafkan, dimaafkan. Tapi yang terus merusak dan menolak fakta hukum, silakan diproses. Bangsa ini sedang menghadapi banyak persoalan, banjir di mana-mana, jadi sudah saatnya berhenti membuat kegaduhan,” katanya.
Baca juga: Polisi Persilakan Roy Suryo Cs Ajukan Praperadilan dalam Kasus Tudingan Ijazah Palsu Jokowi
Seperti diketahui dalam kasus ini Polda Metro Jaya menetapkan delapan orang tersangka terkait dugaan ijazah palsu Jokowi.
“Polda Metro Jaya telah menetapkan delapan orang tersangka dalam perkara pencemaran nama baik, fitnah, ujaran kebencian, dan manipulasi data elektronik yang dilaporkan oleh Bapak Ir. H. Joko Widodo,” kata Kapolda Metro Jaya Arjen Asep Edi Suheri, Jumat (7/11/2025).
Delapan tersangka dijerat perkara pencemaran nama baik, fitnah, dan ujaran kebencian sesuai Pasal 27A dan 28 UU ITE, serta Pasal 310 dan/atau 311 KUHP dengan ancaman pidana maksimal enam tahun penjara.
Delapan tersangka dibagi ke dalam dua klaster sesuai perbuatannya dan pasal tambahan berbeda.
Klaster pertama adalah Eggi Sudjana, Kurnia Tri Royani, Rizal Fadillah, Rustam Effendi, dan Damai Hari Lubis, yang dijerat Pasal 160 KUHP tentang penghasutan melakukan kekerasan terhadap penguasa umum.
Sementara Klaster kedua adalah Roy Suryo, Rismon Sianipar, dan Tifauzia Tyassuma, yang dijerat Pasal 32 ayat (1) dan Pasal 35 UU ITE terkait penghapusan, penyembunyian, dan manipulasi dokumen elektronik dengan ancaman hingga 12 tahun penjara.