TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat politik, Arifki Chaniago, menilai wacana pemilihan kepala daerah melalui DPRD tidak sejalan dengan perkembangan politik hari ini, ketika partisipasi publik justru meningkat pesat di ruang digital.
Menurut Arifki, masyarakat kini aktif bersuara, mengkritik kebijakan, dan mengawasi kekuasaan lewat media sosial.
Namun, mekanisme pilkada justru ingin dipersempit dengan mengembalikannya ke ruang parlemen daerah.
Ia menjelaskan, publik kini ikut menilai rekam jejak, membandingkan kinerja, hingga memberi penilaian langsung kepada elite politik secara real time.
Politik, menurut Arifki, tidak lagi berhenti di bilik suara.
“Situasinya seperti ini: stadion sedang penuh dan penonton ramai bersorak, tapi justru mikrofonnya dimatikan," kata Arifki kepada wartawan, Minggu (21/12/2025).
Arifki menegaskan, pilkada lewat DPRD memang sah secara aturan.
Namun, mekanisme itu berisiko kehilangan legitimasi di mata publik.
Kepala daerah yang dipilih elite tetap akan diuji setiap hari oleh masyarakat yang merasa tidak ikut menentukan.
"Secara hukum bisa sah, tapi secara sosial mudah goyah," ujarnya.
Ia menuturkan, alasan efisiensi anggaran dan stabilitas politik yang kerap dikemukakan untuk membenarkan pilkada tidak langsung dianggap keliru sasaran.
“Masalahnya bukan rakyat terlalu ramai, tapi negara belum siap mengelola keramaian itu,” ungkapnya.
Arifki menegaskan, demokrasi bukan soal membuat politik sunyi, melainkan mengatur suara publik agar tetap sehat.
Ironisnya, lanjut dia, elite politik justru sangat aktif menggunakan media sosial untuk membangun citra dan membaca arah dukungan.
Publik dirangkul saat kampanye narasi, namun dikesampingkan saat keputusan diambil.
“Rakyat diperlakukan seperti penonton polling, bukan pemilik suara,” ungkap Arifki.
Karena itu, Arifki menambahkan bahwa polemik pilkada melalui DPRD tidak sekadar soal mekanisme pemilihan, tetapi menyangkut arah demokrasi lokal ke depan.
Baca juga: Perludem Sebut Wacana Pemilihan Kepala Daerah Lewat DPRD Bukan Hal Baru, Pernah Terjadi di Era SBY
"Di era digital, legitimasi tidak cukup lahir dari prosedur, tetapi dari rasa dilibatkan. Jika jarak antara keputusan elite dan harapan publik terus dibiarkan, demokrasi lokal bisa tetap berjalan secara administratif, namun kehilangan ruhnya, seperti panggung megah tanpa penonton," tegasnya.
Usulan pemilihan kepala daerah melalui DPRD kembali mengemuka setelah Golkar mengusulkannya sebagai tindak lanjut hasil Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) I Tahun 2025.
Golkar menyatakan pemilihan kepala daerah melalui DPRD sebagai wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat, dengan menitik beratkan pada keterlibatan dan partisipasi publik dalam proses pelaksanaannya.
(Tribunnews.com/Fersianus Waku)