Kampoong Ecopreneur Tebar 1.000 Bibit Pohon, Pendirian Masjid Eco Wakaf Jadi Titik Awal Aksi Nyata
December 22, 2025 11:54 AM

TRIBUNJABAR.ID, BOGOR - Setelah terjadinya banjir besar di Sumatra, kepedulian terhadap isu lingkungan mulai menemukan bentuk-bentuk baru di berbagai ruang publik, termasuk di lingkungan masjid.

Salah satu wujud nyata datang dari Masjid Eco Wakaf yang digagas Kampoong Ecopreneur melalui aksi pembagian 1.000 bibit pohon kepada masyarakat sebagai simbol sekaligus langkah konkret menjaga alam.

Momentum pembagian ribuan bibit pohon tersebut bertepatan dengan prosesi peletakan batu pertama pembangunan Masjid Eco Wakaf yang berlokasi di kawasan Kampoong Ecopreneur, Kecamatan Leuwisadeng, Kabupaten Bogor, pada Minggu, 21 Desember 2025.

Prosesi ini dipimpin langsung oleh para pendiri Kampoong Ecopreneur dengan inspirator nasional Jamil Azzaini sebagai figur sentral kegiatan.

Acara tersebut dihadiri sekitar 130 tamu undangan yang berasal dari berbagai latar belakang. Sejumlah founder Kampoong Ecopreneur turut hadir, di antaranya Sofie Beatrix, Teguh Arif, Atok R. Aryanto, Burhan Sholihin, Deka Kurniawan, Aris Ahmad Jaya, Nurdin Razak, serta Muhammad Subhan.

Dalam rangkaian kegiatan yang sama, para tamu undangan juga diajak menanam pohon sekaligus menerima bibit untuk ditanam di lingkungan masing-masing.

Masjid Eco Wakaf sendiri berdiri di atas tanah wakaf seluas 1,5 hektare. Jamil menjelaskan bahwa konsep masjid ini tidak semata difungsikan sebagai ruang ibadah, melainkan dirancang menjadi pusat pembelajaran spiritual, pengembangan ecopreneurship, serta pengelolaan wakaf produktif yang berpihak pada kelestarian lingkungan dan pemberdayaan masyarakat sekitar.

Dalam sambutannya, Jamil Azzaini menuturkan bahwa kehadiran Kampoong Ecopreneur merupakan respons terhadap beragam krisis. 

Menurutnya, kerusakan lingkungan, lemahnya pemberdayaan ekonomi masyarakat, serta memburuknya kesehatan mental menjadi persoalan serius yang tidak bisa diselesaikan secara terpisah.

“Banjir di Sumatra adalah alarm keras. Ini bukan sekadar bencana alam, tapi akibat dari cara kita memperlakukan alam. Kalau relasi manusia dengan alam terus rusak, bencana hanya soal waktu,” kata Jamil.

Ia menambahkan, gagasan Kampoong Ecopreneur lahir dari kegelisahan masyarakat terhadap arah pembangunan yang selama ini dinilai belum menyentuh akar persoalan secara mendalam. Pendekatan yang parsial, menurutnya, justru membuat masalah semakin berlapis.

“Kita menghadapi tiga krisis sekaligus: krisis lingkungan, krisis entrepreneur yang benar-benar memberdayakan masyarakat, dan krisis kesehatan mental. Kampoong Ecopreneur hadir untuk menjawab itu secara utuh, bukan sepotong-potong,” ujarnya.

Sebagai bentuk komitmen yang lebih dari sekadar wacana, Kampoong Ecopreneur membagikan 1.000 bibit pohon kepada tamu undangan dan warga di sekitar kawasan Leuwisadeng. Jamil menegaskan bahwa langkah tersebut tidak dimaksudkan sebagai simbol seremonial belaka, melainkan pernyataan sikap yang menuntut konsistensi jangka panjang.

“Menanam pohon itu bukan kegiatan seremonial. Ini pernyataan sikap. Kalau kita ingin selamat dari krisis ekologis, kita harus mulai mengembalikan fungsi alam, bukan hanya membicarakannya di forum,” kata dia.

Selain isu lingkungan, Kampoong Ecopreneur juga menaruh perhatian besar pada penguatan ekonomi warga. Dalam waktu dekat, pengelola berencana menyalurkan 100 sarang lebah madu klanceng kepada masyarakat sekitar Leuwisadeng sebagai bagian dari program pemberdayaan ekonomi berbasis potensi lokal.

“Kami tidak ingin masyarakat hanya jadi penonton. Mereka harus jadi pelaku ekonomi. Lebah madu ini akan kami dampingi sampai menjadi sumber penghasilan. Target kami, Leuwisadeng menjadi sentra madu yang meningkatkan kesejahteraan warga,” ujar Jamil.

Di kawasan yang sama, Kampoong Ecopreneur juga merencanakan pembangunan pusat ecotherapy bernama Kampoong Hening. Fasilitas ini akan difokuskan pada layanan terapi, pelatihan, serta pendampingan kesehatan mental berbasis alam, terutama bagi kelompok usia produktif yang mengalami tekanan psikologis.

“Banyak orang tampak baik-baik saja, tapi sebenarnya lelah secara mental. Kampoong Hening kami rancang sebagai ruang pemulihan, tempat orang kembali waras, tenang, dan menemukan makna hidupnya,” kata Jamil.

Secara keseluruhan, Kampoong Ecopreneur dikembangkan sebagai sebuah ekosistem terpadu yang menggabungkan nilai spiritualitas, kewirausahaan berkarakter, pelestarian lingkungan, serta pengelolaan wakaf produktif. Inisiatif ini diharapkan dapat menjadi model pembangunan berbasis komunitas yang berkelanjutan dan memungkinkan untuk direplikasi di daerah lain.

Kegiatan yayasan Kampoong Ecopreneur didukung oleh dana umat yang dihimpun melalui zakat, infak, sedekah, serta wakaf produktif. Saat ini, sejumlah pengusaha telah menitipkan wakaf produktif mereka.

Di antaranya Yayasan STIFIn Institute yang menyerahkan hak pengelolaan 10 cabang STIFIn di 10 kota dengan nilai Rp 5 miliar, serta seorang pengusaha warung ayam geprek yang menitipkan satu cabang Hara Chicken.

Outlet Hara Chicken tersebut tidak hanya berorientasi pada keuntungan, tetapi juga menjadi ruang inklusif dengan mempekerjakan karyawan disabilitas. Selain itu, unit usaha ini difungsikan sebagai laboratorium bisnis bagi para santri untuk belajar langsung mengelola usaha.

Dalam kesempatan yang sama, Ari Untung, artis yang turut hadir dalam acara tersebut, menyampaikan apresiasinya terhadap rencana pembangunan Kampoong Ecopreneur.

“Mudah-mudahan dari tempat ini lahir anak-anak muda yang bisa mengangkat masyarakat seperti yang dikisahkan di Surat Al Kahfi,” ujarnya.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.