Bencana, Pancasila dan Bahaya Disintegrasi
December 22, 2025 02:22 PM

Bencana, Pancasila dan Bahaya Disintegrasi

Oleh: La Ode Arwah Rahman

Pengajar Pancasila Institut Teknologi BJ Habibie Parepare

Sejujurnya, kita ingin menolak pikiran ini sejauh mungkin. 

Namun realitas memaksa kita untuk jujur bahwa aroma disintegrasi bangsa kembali tercium dari ujung barat negeri. 

Dalam beberapa pekan terakhir, simbol-simbol yang pernah diasosiasikan dengan konflik masa lalu kembali menyeruak, beriringan dengan bencana banjir besar di sebagian wilayah. 

Bencana yang semestinya menyatukan empati nasional justru membuka kembali luka lama kebangsaan. 

Ini bukan kebetulan sejarah, melainkan gejala struktural yang berulang.

Ancaman disintegrasi hari ini tidak selalu hadir dalam bentuk pemberontakan atau tuntutan pemisahan wilayah. 

Ia hadir lebih sunyi, lebih dalam, dan karena itu lebih berbahaya, yakni hilangnya kepercayaan rakyat kepada negara. 

Ketika negara tidak lagi dirasakan sebagai pelindung dan penjamin keadilan, maka ikatan kebangsaan perlahan mengendur dari dalam.

Salah satu sumber utama kegelisahan ini adalah kebijakan publik yang semakin kehilangan kepekaan sosial dan kompas moralnya. 

Negara tampak sibuk membangun simbol-simbol kemajuan proyek mercusuar, infrastruktur prestisius, dan citra global, sementara pada saat yang sama sebagian besar rakyat hidup dalam tekanan ekonomi yang mendera. 

Uang negara, termasuk utang atas nama generasi mendatang, digelontorkan untuk proyek-proyek besar (IKN, Woosh dll), sementara kesulitan hidup rakyat dianggap sebagai konsekuensi yang harus diterima.

Di sinilah masalahnya menjadi serius. 

Bukan soal setuju atau tidak setuju pada pembangunan, melainkan soal prioritas etis. 

Ketika negara lebih peka terhadap logika pasar, reputasi global, dan kepentingan modal dibandingkan pada penderitaan warganya sendiri, maka negara sedang kehilangan arah moral.

Kebijakan publik tidak lagi berpijak pada keadilan sosial sebagaimana amanat Pancasila, melainkan tunduk pada logika efisiensi, pertumbuhan, dan prestise.

Krisis kepekaan ini juga tampak jelas dalam pengelolaan sumber daya alam. 

Banjir yang berulang di negeri ini bukan sekadar fenomena alam, melainkan akibat dari kebijakan yang kapitalistik, yang memandang hutan, tanah, dan sungai sebagai komoditas ekonomi semata.

Ketika alam dieksploitasi tanpa etika, rakyat di wilayah terdampak menanggung risiko ekologis, sementara manfaat ekonomi terakumulasi di pusat.

Kini, negara tampak hadir sebagai pemberi izin investasi daripada pelindung ruang hidup warganya. 

Ketimpangan fiskal pusat–daerah memperparah keadaan ini. 

Daerah menanggung kerusakan dan bencana, tetapi tidak menikmati keadilan distribusi, sehingga rasa memiliki terhadap negara perlahan terkikis dan digantikan oleh rasa ditinggalkan.

Dalam situasi seperti ini, Pancasila seharusnya menjadi penuntun kebijakan. 

Namun yang terjadi, Pancasila lebih sering hadir sebagai slogan dan legitimasi moral, bukan sebagai kompas nyata dalam pengambilan keputusan. Ia hidup dalam pidato, tetapi absen di meja kebijakan dan anggaran. 

Ia dijunjung dalam retorika, tetapi diabaikan dalam desain sistem. 

Pancasila pun mengering, berubah menjadi sebatas lipstik kebijakan publik.

Pelajaran Sejarah

Sejarah dunia memberi pelajaran yang seharusnya membuat kita waspada. 

Uni Soviet, Yugoslavia, dan Cekoslowakia tidak runtuh dalam semalam. 

Mereka membusuk perlahan, sunyi dan hampir tidak disadari oleh penguasa yang terlambat membaca tanda-tandanya. 

Retakan demi retakan dianggap gangguan kecil, keluhan rakyat dibaca sebagai suara pinggiran, dan ketidakadilan dipandang sebagai harga yang wajar demi stabilitas.

Mereka runtuh bukan karena provokasi semata, tapi karena ideologi negara mereka kehilangan daya hidup dalam praktik kebijakan. 

Sosialisme, persatuan, dan keadilan tetap dipertahankan sebagai simbol dan konstitusi, tetapi tidak lagi dirasakan rakyat sebagai pengalaman hidup yang adil dan melindungi. 

Ketika jurang antara ideologi dan realitas membesar, legitimasi negara runtuh dari dalam, dan disintegrasi pun menjadi konsekuensi logis yang harus diterima dengan mahal.

Indonesia tentu memiliki sejarah dan fondasi yang berbeda. 

Namun hukum sosialnya sama: negara-bangsa tidak runtuh karena musuh dari luar, melainkan karena kehilangan keadilan di dalam. 

Ketika rakyat merasa ditinggalkan oleh kebijakan negaranya sendiri, persatuan tidak lagi ditopang oleh kepercayaan dan rasa memiliki, melainkan oleh kebiasaan, slogan, dan “paksaan administratif” yang rapuh menghadapi krisis.

Namun keadaan ini belum terlambat untuk diperbaiki. Indonesia belum berada pada titik tanpa jalan kembali. 

Modal sosial bangsa ini masih ada. 

Solidaritas masyarakat masih hidup, rasa keadilan masih menjadi tuntutan batin rakyat, dan Pancasila masih diakui sebagai dasar negara.

Yang dibutuhkan bukan slogan baru, melainkan keberanian politik untuk mengembalikan Pancasila sebagai kompas nyata kebijakan publik.

Negara harus kembali peka terhadap penderitaan rakyat, menata ulang prioritas anggaran, menghentikan pembangunan simbolik yang jauh dari kebutuhan mendesak, mengoreksi pengelolaan sumber daya alam yang eksploitatif, serta memastikan keadilan fiskal antara pusat dan daerah. 

Jika keadilan sosial kembali dihadirkan secara nyata, maka kepercayaan publik dapat dipulihkan, dan ancaman disintegrasi itu dapat diredam sebelum menjadi kenyataan sejarah.

Ingat, sejarah selalu datang terlambat bagi bangsa yang menunda koreksi. 

Disintegrasi tidak pernah diumumkan secara resmi; ia tumbuh dari rasa tidak adil yang dibiarkan terlalu lama. 

Jika Pancasila terus diperlakukan sebagai ornamen retorika, sementara kebijakan publik berjalan menjauhinya, maka negara sedang menggali jarak dengan rakyatnya sendiri. 

Persatuan yang tidak ditopang keadilan hanya akan bertahan selama krisis belum datang. 

Dan ketika krisis itu tiba, yang runtuh bukan hanya bangunan ekonomi, tetapi kepercayaan kebangsaan itu sendiri.

 

 

 

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.