Oleh :
Baso Affandi (aktivis 98)
DUDUK dan menikmati secangkir kopi hitam yang masih mengepul di meja. Pahitnya jujur, tidak dibuat-buat.
Saat seperti ini, pikiran justru mengembara pada wilayah sensitif, wilayah yang bicara tentang kekuasaan, tentang sejarah, tentang bagaimana bangsa ini pernah jatuh dan bangkit.
Di negeri ini, otonomi daerah tidak lahir dari ruang kosong. Ia bukan hadiah, apalagi kemurahan hati pusat.
Ia tumbuh dari luka sejarah panjang sentralisasi kekuasaan, lahir dari jeritan daerah yang terlalu lama hanya menjadi objek kebijakan Jakarta (pusat). Bertahun-tahun daerah kaya sumber daya, tetapi miskin kewenangan.
Bertahun-tahun suara lokal tenggelam oleh keputusan yang bahkan tak memahami denyut sosial di daerah.
Karena itu, setiap kali wacana penentuan kepala daerah oleh DPRD kembali mengemuka, publik patut berhenti sejenak dan bertanya bahwa apakah kita sedang melangkah ke depan, atau justru memutar balik sejarah ?
Soal Pilihan, atau Soal Kekuasaan ?
Persoalan ini sejatinya bukan sekadar soal teknis tentang siapa yang memilih gubernur, bupati, atau wali kota.
Ini soal yang lebih hakiki, di mana kekuasaan sesungguhnya berada. Jika kepala daerah dipilih oleh DPRD, sementara kandidat ditentukan oleh partai politik yang keputusan strategisnya berada di tangan pimpinan pusat, maka jangan heran bila kekuatan pusat kembali dominan.
Otonomi daerah, dalam skema seperti ini, tinggal istilah administratif saja yang sudah pasti bukan lagi kekuatan politik yang nyata.
Kepala daerah yang lahir dari proses tersebut, secara logika politik, akan lebih merasa “berutang” kepada elite partai di Jakarta ketimbang kepada rakyat di daerahnya sendiri. Ini bukan tuduhan, bukan pula asumsi emosional.
Ini logika kekuasaan yang paling sederhana bahwa siapa yang menentukan, dialah yang harus dipertanggungjawabkan.
Biaya Mahal atau Salah Kaprah ?
Dalih yang paling sering diulang adalah soal biaya. Angka Rp 37,5 triliun disebut-sebut sebagai beban besar negara.
Angka itu terdengar fantastis, sampai kita membedahnya secara jujur. Dana itu digunakan untuk 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota, dalam satu siklus lima tahunan.
Artinya, itu adalah investasi demokrasi untuk ratusan kepemimpinan daerah selama lima tahun penuh. Saya kira, angka itu tidaklah berlebihan jika tujuannya adalah mencari pemimpin yang benar-benar menjadi representasi kehendak rakyat.
Demokrasi memang tidak murah. Tetapi ketiadaan demokrasi jauh lebih mahal karena biayanya adalah ketidakpercayaan publik, konflik laten, pemerintahan yang miskin legitimasi, dan kebijakan yang tidak punya daya dukung sosial.
Sejarah banyak negara mengajarkan kita, ketika rakyat merasa dicabut hak memilihnya, biaya sosial dan politik justru melonjak berkali-kali lipat.
Amanah Konstitusi & Roh Reformasi
Pemilihan kepala daerah secara langsung bukan sekadar pilihan teknis elektoral. Ia adalah amanah konstitusi dan roh Reformasi 1998.
Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat.
Pasal 18 ayat (4) menyatakan bahwa gubernur, bupati, dan wali kota dipilih secara demokratis dan tafsir demokratis pasca Reformasi secara konsisten dimaknai sebagai pemilihan langsung oleh rakyat.
Reformasi tidak hanya menjatuhkan rezim, tetapi membongkar cara berpikir lama, dari kekuasaan tertutup menuju kekuasaan yang terbuka, dari elit sentris menuju rakyat sebagai sumber legitimasi.
Jika pilkada kembali dilakukan secara Jikalau melalui DPRD, maka yang dihilangkan bukan hanya hak pilih rakyat, tetapi juga makna kedaulatan rakyat itu sendiri. Ini adalah langkah mundur.
Dan dalam sejarah politik, jarak antara sentralisasi kekuasaan dan otoritarianisme tidak pernah terlalu jauh.
Paradoks Sikap Elit Politik
Menjadi terasa ganjil ketika justru banyak elit partai politik yang menyambut wacana ini. Padahal, partai politik lahir, hidup, dan memperoleh legitimasi dari mandat rakyat.
Pemilihan langsung oleh rakyat adalah amanah konstitusi, bukan sekadar mekanisme yang bisa dinegosiasikan demi kenyamanan elite.
Jika pemilihan langsung dianggap merepotkan, mahal, atau berisiko, barangkali yang perlu dibenahi bukan sistemnya, melainkan cara partai merekrut dan mengusung kadernya, cara partai memberikan pendidikan politik pada pengurusnya, kadernya dna bahkan konstituennya.
Demokrasi tidak pernah dirancang untuk memudahkan elite, ia dirancang untuk melindungi kedaulatan rakyat.
Kembali ke Jalan Lama
Pilkada langsung memang tidak sempurna. Ia punya cacat, biaya, dan dinamika yang keras.
Tetapi ia adalah instrumen paling jujur untuk memastikan bahwa kepala daerah berdiri di atas mandat rakyat, bukan di bawah bayang-bayang pusat.
Mengganti pemilihan langsung dengan mekanisme tertutup DPRD bukanlah solusi. Ia adalah pengingkaran atas otonomi daerah, amanah konstitusi, dan cita-cita Reformasi.
Saya menghabiskan sisa kopi hitam ini sambil mengingat satu pelajaran lama dan menegaskan bahwa sejarah selalu mencatat, bangsa yang memilih jalan mundur, cepat atau lambat akan membayar mahal keputusannya dan pahitnya, sering kali jauh berkali lipat dari kopi saya kali ini.
Wassalam,
Baso Affandi
(aktivis 98)
(*)