Pakar BRIN Kritik Food Estate Papua: Jangan Korbankan Ekosistem Sagu demi Ketahanan Pangan Nasional
December 23, 2025 04:00 PM

 

TRIBUN-PAPUA.COM, JAYAPURA - Peneliti Ahli Utama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Asep Mulyono, memperingatkan bahwa proyek food estate di Merauke, Papua Selatan, berisiko tinggi merusak ekosistem hutan dan mengabaikan kearifan lokal. 

Penanaman komoditas pangan yang tidak sesuai dengan makanan pokok lokal dikhawatirkan akan mematikan ketergantungan masyarakat Papua terhadap sagu sebagai sumber pangan utama mereka.

Alih-alih terus melakukan ekstensifikasi atau perluasan lahan yang membabat hutan, BRIN menyarankan pemerintah beralih ke pendekatan intensifikasi.

Melalui teknologi pertanian modern dan penggunaan bibit unggul yang tahan terhadap perubahan cuaca maupun kekeringan, produktivitas lahan yang sudah tersedia sebenarnya dapat ditingkatkan tanpa harus menambah deforestasi di Bumi Cendrawasih.

"Food estate itu silakan saja dibuka di mana saja, asalkan ekosistemnya tidak terganggu ya karena rata-rata ekosistem (terganggu) dengan pembukaan lahan, terutama di masyarakat Papua yang dominan makanan sagu," ujar Asep Mulyono dalam webinar, Jumat (19/12/2025). 

Baca juga: Ahok Tegas Tolak Ekspansi Sawit di Papua: Jangan Ganti Hutan Hujan dengan Tanaman Monokultur!

Program food estate disebut bakal mengganggu ekosistem karena tanaman pangan yang ditanam tidak sesuai dengan makanan pokok masyarakat Papua.

Di sisi lain, sebenarnya ada pendekatan intensifikasi atau peningkatan produktivitas lahan pertanian yang sudah tersedia. Apalagi, produktivitas lahan pertanian sudah dapat ditingkatkan dengan teknologi dan bibit unggul. 

"Untuk meningkatkan produktivitas, sekarang banyak teknologi, bibit-bibit yang tahan terhadap kekeringan, tahan dengan cuaca, tahan dengan kekurangan air, itu bisa menunjang (produktivitas), selain (perluasan) lahan," tutur Asep.

Food estate di Papua disarankan pakai pendekatan argoforestri

Program food estate tak boleh dilakukan di kawasan hulu

Sementara itu, Senior Lecturer Facultry of Sustainable Agriculture Universiti Malaysia Sabah, Muhamad Askari menyarankan pendekatan agroforestri jika memang tujuan program food estate untuk ketahanan pangan.

Namun, program food estate tidak boleh dilaksanakan di kawasan hulu.

"Yang perlu diperhatikan adalah bagaimana supaya membuat rencana (food estate) yang lebih baik, jangan sampai tanpa perencanaan yang baik, jadi musibah," ucapnya.

Dibandingkan program pemerintah berskala besar, seperti food estate, Askari lebih menyarankan memperkuat pertanian berbasis keluarga demi ketahanan pangan nasional.

Tak bisa gantikan fungsi hutan

Kawasan hulu adalah titik air sungai bermula yang terletak di pegunungan atau perbukitan idealnya memang dipertahankan sebagai hutan lindung. Kalau kawasan hulu dialihfungsikan menjadi lahan pertanian, fungsi hidrologi akan ikut menghilang.  

"Jadi, untuk di kawasan hulu, pasti hutan lindung itu mau tidak mau, kalau bisa jangan diganggu. Mengapa? Kalau ditukar ke kawasan pertanian pun, enggak akan bisa mengambil peranan seperti hutan yang sebelumnya, begitu."

"Itu yang risikonya paling, artinya kalau kita mau reforestasi atau aforestasi hutan lindung memang sangat diprioritaskan ya," jelas Askari.

Kawasan petanian, seperti perkebunan kelapa sawit, tidak dapat menggantikan fungsi siklus hidrologi dari hutan di dalam kawasan hulu.

Misalnya, pohon-pohon di hutan, termasuk tanaman penutup tanah, dapat meningkatkan kemampuan tanah dalam menyerap air dan memperlambat aliran di atas permukaan untuk mencegah banjir.

Untuk kawasan menengah dan hilir, sebaiknya dikelola melalui sistem agroforestri yang mengintegrasikan wilayah hutan atau pepohonan dengan praktik pertanian berkelanjutan.

Jika kawasan menengah dan hilir sudah ditanami kelapa sawit, kata dia, harus dikelola sesuai praktik pertanian yang baik (Good Agricultural Practices/GAP). 

Namun, pembukaan lahan (land clearing) untuk perkebunan kelapa sawit tetap akan menghilangkan tutupan hutan.

Saat usia tanaman kelapa sawit lebih dari lima tahun, kanopinya akan mencegah sinar matahari dan tumbuhan di bawahnya akan mati dengan sendirinya. 

"(Perlu) mencari spesies yang toleran dengan kurangnya cahaya untuk ditanam di permukaan tanah (di sekitar) sawit yang sudah kehilangan legium aslinya (tanaman legum cover crop atau tanaman penutup tanah dari jenis legum yang dibudidayakan di perkebunan kelapa sawit)," tutur Askari.

FESTIVAL ULAT SAGU - Warga Kampung Yoboi bersama para pengunjung, saat hendak mencari ulat di dalam pohon sagu yang berlangsung di Kampung Yoboi, Distrik Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua, beberapa hari menjelang pelaksanaan Festival Ulat Sagu pada tanggal 25-27 Oktober 2022.(KOMPAS.COM/Billy Tokoro)
FESTIVAL ULAT SAGU - Warga Kampung Yoboi bersama para pengunjung, saat hendak mencari ulat di dalam pohon sagu yang berlangsung di Kampung Yoboi, Distrik Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua, beberapa hari menjelang pelaksanaan Festival Ulat Sagu pada tanggal 25-27 Oktober 2022.(KOMPAS.COM/Billy Tokoro) (Tribun-Papua.com/Kompas.com)

Padahal, tanaman penutup tanah penting untuk mengurangi limpasan air karena memperlambat aliran permukaan dan meningkatkan infiltrasi.

Baca juga: Senator Papua Barat Desak Prabowo Dengar Masyarakat Adat, Filep Wamafma Tolak Investasi Sawit

Sebelumnya, Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economic & Finance (INDEF), Rizal Taufikurahman menilai, kebijakan sektor pertanian dengan pendekatan top down, yang dimulai dari instruksi langsung oleh presiden atau pemerintah pusat tanpa banyak melibatkan partisipasi masyarakat di daerah, pelaksanaannya cenderung tidak selaras dengan tujuan awal.  

Menurut Rizal, proyek-proyek yang bersifat top down, seperti korporasi petani atau food estate, pelaksanaannya kerap tidak selaras dengan arah kebijakannya.

Pendekatan-pendekatan seperti ini sifatnya administratif, mestinya didorong ke dalam pendekatan bottom up (dimulai dari aspirasi di tingkat akar rumput) untuk institutional empowerment (pemberdayaan kelembagaan) ya," ucap Rizal dalam webinar beberapa hari lalu.

"Karena kalau kita bicara kelembagaan yang bersifat semu kesannya, bukan hasil atau kebutuhan konsolidasi ekonomi leveling di bawah, tetapi berbasis pada kepentingan proyek yang sifatnya top down, maka sering kali implementasi dan instrumennya menjadi tidak pas sehingga tadinya itu dianggap sebagai insentif bagi petani, tapi ternyata tidak ter-deliver (tersampaikan)," tambah dia. (*)

Sumber: kompas.com

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.