SURYA.CO.ID - Mardiansyah Semar, Ketua Umum Rampai Nusantara menertawakan Roy Suryo karena meneliti fotokopi yang diakui ijazah Jokowi.
Mardiansyah bahkan meragukan Roy Suryo sebagai peneliti.
Hal ini terungkap dalam acara dialog yang digelar Nusantara TV pada Selasa (23/12/2025).
Awalnya Mardiansyah mengkritik sikap Roy Suryo Cs yang terus menerus membangun opini tentang ijazah palsu Jokowi di media.
Dia menyebut opini Roy Suryo Cs kerap berubah tergantung dari kepentingan.
Baca juga: Telanjur Roy Suryo Menggebu Minta Uji Forensik Independen Ijazah, Kubu Jokowi Santai: Yakin Asli
Dia mencontohkan sikap Roy Suryo Cs yang awalnya mengakui polisi profesonal, namun kemudian mereka meragukan dengan meminta uji forensik independen dokumen Jokowi.
"Jadi kalau kepentingannya agak ke kiri ke kiri, entar ke kanan, ke kanan gitu. Ya tergantung kepentingan dan arah angin. Jadi kalau enggak menguntungkan pasti dia berbicara," kata Mardiansyah.
Karena itu, dia menyarankan Roy Suryo Cs agar energinya itu difokuskan dalam proses peradilan, bukan dalam narasi-narasi gitu di luar proses peradilan.
Menurut Mardiansyah, Roy Suryo sudah seperti menteri propaganda zaman Nazi, Jacob Gobel.
"Jadi kebohongan yang diulang-ulang itu bisa menjadi suatu kebenaran. itu aja," katanya.
" Jadi saya bicara berapa bulan lalu soal Jacob Gobel pas sampai sini, oh ternyata memang itu tujuannya," tudingnya.
Tak terima dengan pernyataan Mardiansyah, Roy Suryo pun menunjukkan fotokopi ijazah Jokowi.
"Kalau seperti ini pemirsa Nusantara TV pasti juga bisa melihat. Nah, ini kan harusnya diproses peradilan nih yang kayak gini-gini nih. Ini enggak usah proses pelajaran aja biar masyarakat juga tahu ini fotokopian semua," katanya.
"Yang ini kemarin ditunjukkan ketika gelar perkara khusus masa kedua-duanya dikarakan identik," tunjuk Roy Suryo.
Ucapan Roy langsung diskakmat oleh Mardiansyah.
"Orang bukan ijazah asli kok diteliti.Ijazah as ijazah asli dong yang diteliti," seru Mardiansyah sambil menertawakan Roy Suryo.
Roy Suryo pun naik darah dengan menyebut Mardiansyah tidak punya legal standing di kasus ini.
Namun, Mardiansyah terus mencecarnya.
"Ini fotokopi, makanya kayak gini kok dikatakan asli yang ditunjukkan diteliti," seru Mardiandyah lagi.
Roy semakin emosi. "Kamu tuh enggak punya legal standing enggak usah ngomong punya legak ngomong nusantara atau apalah enggak usah," ujar Roy Suryo lagi.
Karena suasananya sudah panas, presenter lalu mengalihkan pertanyaan ke uji forensik independen yang diminta Roy Suryo.
Roy meminta yang diuji fotensik adalah ijazah yang berwarna.
"Kalau yang diteliti itu harusnya yang asli baru diteliti lah ini diteliti, tapi menyatakan palsu.Orang bukan ijazah asli," timpal Mardiansyah lagi.
Roy lalu mencoba meyakinkan bahwa dia sudah berpengalaman dalam melakukan uji dokumen, sehingga tahu asli dan tidaknya.
"Enggak bisa begitu dong. Bagaimana orang tidak punya bahan ujian yang benar yang asli. Tapi tiba-tiba mengambil kesimpulan palsu," timpal Mardiansyah lagi,
Karena emosi pernyataannya selalu dipotong Mardiansyah, Roy pun protes ke Nusantara TV
"Dia enggak ngerti fotografi. Ini harusnya lain kali undang yang aduh.. enggak usah lah kalau orang omong-omon yang enggak punya dasar ilmu sama sekali kayak gini buat apa," protesnya.
Permohonan uji forensik independen terhadap dokumen akademik Jokowi diajukan Roy Suryo cs bersama kuasa hukumnya kepada penyidik Polda Metro Jaya pada Senin (22/12/2025).
Dua institusi yang diusulkan untuk melakukan pemeriksaan forensik adalah Universitas Indonesia dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Roy Suryo menyebutkan, terdapat empat dokumen akademik Joko Widodo yang ingin diajukan untuk diperiksa secara forensik.
Seluruh dokumen tersebut merupakan dokumen yang diterbitkan oleh Universitas Gadjah Mada (UGM).
Keempat dokumen itu meliputi ijazah strata satu (S-1), transkrip nilai, lembar pengesahan skripsi, serta sertifikat dan laporan kuliah kerja nyata (KKN).
“Jadi empat dokumen tersebut itu menjadi poin sangat penting untuk dilakukan analisa,” kata Roy Suryo di kesempatan yang sama.
Roy menilai, sejumlah dokumen tersebut bermasalah. Salah satunya adalah transkrip nilai yang sebelumnya ditunjukkan oleh Direktorat Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Bareskrim Polri.
“Transkrip nilai yang ditampilkan oleh Dirtipidum pada 22 Mei 2025 yaitu tanpa otoritas dekan, pembantu dekan, tanpa tanda tangan, tanpa nama, tanpa stempel, dan tulisan nilainya tulisan tangan dan tanpa ada daftar mata kuliah pilihan,” tutur dia.
Selain itu, Roy juga meragukan keabsahan lembar pengesahan skripsi Jokowi.
Menurut dia, format dokumen tersebut baru digunakan pada 1992, atau tujuh tahun setelah Jokowi dinyatakan lulus.
Ia menyebutkan, dokumen tersebut juga belum pernah diuji secara saintifik oleh kepolisian.
Roy secara khusus menyoroti keikutsertaan Jokowi dalam kegiatan KKN semasa kuliah.
“Jika ada, maka kami ingin dokumen sertifikat KKN dan laporan KKN juga diuji forensik,” kata dia.
Permintaan uji forensik ini juga dilatarbelakangi keberatan Roy Suryo yang mengaku tidak diizinkan menyentuh langsung ijazah Jokowi saat gelar perkara.
Menurut dia, pemeriksaan fisik dengan menyentuh dokumen diperlukan untuk memastikan keaslian emboss yang bersifat timbul.
“Emboss itu harus dirasakan. Tapi di situ hanya grafis, termasuk watermark-nya. Bagaimana kami bisa memegang atau meraba, itu tidak dikeluarkan (dari map),” kata dia.
Roy bahkan tetap meyakini ijazah yang ditunjukkan penyidik masih palsu.
Ia menuding, ijazah yang ditampilkan Polda Metro Jaya telah dimodifikasi dari ijazah yang sebelumnya diperlihatkan oleh Bareskrim Polri.
“Ketika lihat itu saya langsung lihat 99,9 persen palsu. Tetap. Fotonya sangat kontras dan watermark tidak bisa kelihatan secara jelas, ada tipis-tipis tapi itu kayaknya hasil reprinting ulang,” tegas dia.
Kuasa hukum Jokowi, Rivai Kusumanegara mengaku tidak masalah dokumen Jokowi termasuk ijazah harus diuji ulang.
"Kami sendiri enggak ada masalah loh mau diuji ulang oleh BRIN atau siapapun, karena kami yakin asli. Kita oke sepanjang dia independen," katanya dikutip dari tayangan Kompas TV pada Senin (22/12/2025).
Rivai akan keberatan kalau yang akan melakukan pemeriksaan itu adalah Roy Suryo CS, karena tidak ada aturannya.
Dia mencontohkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menuntut seseorang, untuk menentukan kerugian negara harus meminta audit dari BPKP.
"(Seandainya) saya sebagai tersangka bisa enggak eh KPK coba saya minta semua dokumen kementerian saya mau audit pakai auditor swasta. Pasti ditolak. Karena KPK tetap hanya bilang satu lembaga yang bisa menghitung BPKP," tegasnya.
Menurut Rivai, pembuktian dari suatu kasus hanya boleh di persidangan.
Hal ini sesuai dengan Paasal 312 KUHP yang berbunyi bahwa bahwa pembuktian kebenaran atas suatu tuduhan (yang dianggap mencemarkan nama baik) hanya diperbolehkan oleh hakim dalam situasi tertentu, misalnya jika terdakwa melakukan perbuatan tersebut demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.
Jika terdakwa diberi kesempatan membuktikan namun gagal, ia dapat dijerat dengan pasal fitnah (Pasal 311 KUHP).
"Itu hanya boleh dilakukan dengan izin hakim," tegasnya.
Sebelumnya, Polda Metro Jaya menetapkan delapan orang sebagai tersangka dalam kasus tudingan ijazah palsu Presiden Joko Widodo.
Para tersangka dibagi ke dalam dua klaster berdasarkan peran dan dugaan pelanggaran yang dilakukan.
Klaster pertama terdiri atas lima tersangka, yakni:
Mereka dijerat dengan Pasal 310 dan/atau Pasal 311 dan/atau Pasal 160 KUHP, serta Pasal 27A juncto Pasal 45 Ayat (4) dan/atau Pasal 28 Ayat (2) juncto Pasal 45A Ayat (2) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Sementara itu, klaster kedua mencakup tiga tersangka, yakni:
Mereka dijerat dengan Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP, Pasal 32 Ayat (1) juncto Pasal 48 Ayat (1), Pasal 35 juncto Pasal 51 Ayat (1), Pasal 27A juncto Pasal 45 Ayat (4), serta Pasal 28 Ayat (2) juncto Pasal 45A Ayat (2) UU ITE.
Kasus ini bermula dari laporan yang diajukan oleh organisasi Pemuda Patriot Nusantara pada April 2025, diikuti dengan laporan Jokowi dan sejumlah pihak.
Di sisi lain, gugatan perdata terkait ijazah di Pengadilan Negeri Solo dan Jakarta Pusat telah dinyatakan gugur atau tidak diterima karena pengadilan tidak berwenang mengadili perkara tersebut, yang dinilai lebih tepat masuk ranah pidana atau Tata Usaha Negara.
Pihak Universitas Gadjah Mada (UGM) sendiri telah mengonfirmasi bahwa Jokowi adalah alumnus Fakultas Kehutanan UGM angkatan 1980 dan lulus pada tahun 1985.