Mengubah Status Jadi Kapabilitas Bencana 
December 25, 2025 06:11 PM

 

Oleh: Dr. M.H. Thamrin 
(Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Sriwijaya Palembang)

SRIPOKU.COM - Menjelang Natal 2025 dan Tahun Baru 2026, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPPD) Provinsi Sumatera Selatan menyebutkan sepuluh kabupaten/kota menetapkan status siaga darurat bencana hidrometeorologi – OKU, OKU Selatna, Musi Banyuasin, Ogan Ilir, OKI, Musi Rawas Utara, Banyuasin serta kota Pagar Alam, Prabumulih, dan Lubuklinggau.

Langkah ini ditempuh sebagai antisipasi cuaca ekstem yang diperkirakan berlanjut hingga awal 2026, dengan ancaman banjir, tanah longsir, dan angin kencang. BPPD menekankan, status siaga diperluan agar peanganan bisa lebih cepat melalui pemantauan dan pemetaan wilayah rawan, kesiapan personel serta peralatan, dan penguatan koordinasi dengan pemerintah daerah serta instansi terkait. 

Namun dalam kacamata kebijakan publik, status hanyalah “pintu”. Keselamatan warga tidak ditentukan oleh bunyi keputusan, melainkan oleh kapabilitas—kemampuan nyata pemerintah daerah dan masyarakat mengubah informasi risiko menjadi tindakan. Kapabilitas itu dapat diuji secara sederhana: apakah warga tahu harus menghubungi siapa ketika air mulai naik, apakah jalur evakuasi jelas, apakah peralatan dan logistik sudah dekat, serta apakah bantuan bergerak cepat pada jam-jam pertama yang sering menentukan.

Data 2025 menunjukkan mengapa tuntutan kapabilitas ini penting. Hingga 17 Desember 2025, BPBD mencatat 259 kejadian bencana di Sumsel. Banjir mendominasi (98 kejadian), disusul angin kencang (81), kebakaran permukiman (52), tanah longsor (24), puting beliung (3), dan banjir bandang (1). Dampaknya luas: 62.800 rumah terendam; 156 rumah rusak berat, 81 rusak sedang, dan 336 rusak ringan.

Fasilitas publik ikut terdampak—18 fasilitas pendidikan, lima fasilitas kesehatan, delapan rumah ibadah, dan 14 bangunan lainnya. Dampak merembet ke pertanian dan infrastruktur: 2.154 hektare sawah dan 374,5 hektare perkebunan terdampak, 17 jembatan rusak, serta satu jaringan irigasi terganggu. Total warga terdampak mencapai 37.655 kepala keluarga; 205 kepala keluarga mengungsi; tujuh orang luka-luka; dan tiga orang meninggal.

Libur Nataru membuat risiko ini lebih “terasa” karena mobilitas meningkat dan konsentrasi orang bertambah—di jalan lintas, pusat keramaian, dan lokasi wisata. Ketika hujan ekstrem memicu banjir atau longsor, gangguan akses dapat menjalar cepat: ambulans terlambat, distribusi logistik tersendat, listrik padam, dan kepanikan menyebar. Karena itu, status siaga semestinya segera diterjemahkan menjadi langkah operasional yang terlihat, bukan berhenti pada imbauan umum agar “waspada”.

Literatur kebencanaan membantu menjelaskan mengapa hal itu krusial. Reid Basher (2006) menekankan bahwa sistem peringatan dini yang efektif harus bersifat end-to-end dan people-centred: bukan hanya memproduksi data bahaya, tetapi memastikan rangkaian dari pemantauan, peringatan, komunikasi, hingga respons benar-benar bekerja untuk orang yang terpapar risiko. Dengan kata lain, “peringatan” bukan sekadar pesan; ia harus berujung pada tindakan yang mungkin dilakukan.

Di sisi perilaku publik, Lindell (2012) menunjukkan lewat Protective Action Decision Model bahwa orang tidak otomatis bertindak hanya karena ada peringatan dari otoritas. Warga menimbang: apakah pesan itu jelas, apakah sumbernya dipercaya, apakah dampaknya terasa relevan, dan apakah ada opsi tindakan yang realistis.

Implikasinya tegas: peringatan yang generik—sekadar “waspada”—mudah dikalahkan rutinitas. Sebaliknya, peringatan yang “membumi” (siapa terdampak, kapan kira-kira puncaknya, apa yang harus dilakukan, ke mana harus pergi) jauh lebih mungkin menggerakkan tindakan kolektif.

Pertama, siaga harus hadir di level terdekat dengan warga. Posko bukan sekadar spanduk; ia harus berfungsi: ada petugas berjaga, kanal pelaporan responsif, dan penanggung jawab lapangan yang dikenal. Warga di bantaran sungai, daerah rendah, maupun lereng perbukitan memerlukan informasi sederhana tetapi krusial: tanda bahaya yang perlu diwaspadai, kapan keputusan evakuasi diambil, dan ke mana harus menuju.

Kedua, dekatkan sumber daya ke titik rawan sebelum akses terputus. Perahu evakuasi, pelampung, tenda, genset, pompa, obat, dan air bersih perlu ditempatkan lebih dekat ke wilayah rawan, bukan menunggu dipindahkan setelah kejadian. Prinsipnya sederhana: lebih baik menggeser sebagian stok lebih awal daripada menggeser korban di tengah keterbatasan akses.

Ketiga, peringatan dini harus berubah dari sekadar “informasi cuaca” menjadi “informasi tindakan”. Pesan yang efektif menjawab kebutuhan warga: wilayah mana yang paling mungkin terdampak, kapan jam kritisnya, apa dampak yang mungkin terjadi (arus deras, genangan, pohon tumbang), dan langkah praktis yang bisa dilakukan. Pesan juga harus konsisten di semua kanal—satu pesan, banyak saluran—agar tidak menimbulkan kebingungan dan kepanikan.

Keempat, perlindungan kelompok rentan harus menjadi standar layanan. Lansia, difabel, ibu hamil, anak-anak, dan warga dengan penyakit kronis membutuhkan protokol yang lebih proaktif: pendataan lokasi, prioritas evakuasi, serta akses layanan kesehatan. Tempat pengungsian pun harus layak—air bersih, sanitasi, keamanan—agar bencana tidak berlanjut menjadi krisis kesehatan.

Kelima, siaga perlu menjaga penghidupan, bukan hanya menyelamatkan nyawa. Dampak pada sawah, perkebunan, jembatan, dan irigasi memperlihatkan bencana hidrometeorologi juga soal ekonomi keluarga. Karena itu, siaga seharusnya menyiapkan langkah yang menahan kerugian: perlindungan titik pertanian yang paling rentan, rencana dukungan cepat pascakejadian, serta pemulihan akses vital—terutama jembatan dan ruas jalan yang menjadi nadi ekonomi.

Semua agenda di atas memerlukan satu syarat yang sering luput: koordinasi lintas-batas yang benar-benar berjalan. Banjir di satu wilayah bisa menekan wilayah lain; putusnya akses di satu kabupaten dapat memutus rantai logistik kabupaten tetangga. Karena itu, peran provinsi penting untuk memastikan pelaporan terpadu, jalur komunikasi tunggal, dan mekanisme saling bantu antardaerah bergerak cepat, tanpa menunggu situasi memburuk.

Pada akhirnya, publik berhak menilai siaga dengan ukuran yang membumi: apakah nomor darurat benar-benar diangkat, seberapa cepat respons awal sejak laporan masuk, apakah peringatan sampai ke warga paling rentan, dan apakah jalur evakuasi serta pengungsian siap. Transparansi ukuran sederhana seperti ini menjaga akuntabilitas sekaligus kepercayaan.

Penetapan status siaga di Sumsel adalah start yang benar. Tetapi bencana tidak menunggu administrasi selesai. Tantangannya adalah mengubah status menjadi kapabilitas: respons yang lebih cepat, sumber daya yang lebih dekat, informasi yang lebih jelas, dan perlindungan yang lebih adil. Di situlah makna siaga sesungguhnya: menurunkan korban dan kerugian dibanding pola yang berulang. Status penting, tetapi dampaknya bagi warga jauh lebih penting. (*)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.