Pengamat Unisba Sebut Pertemuan Tokoh PBNU Penting Jaga Keutuhan NU Jelang Muktamar
December 26, 2025 12:09 PM

TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Pengamat Komunikasi Politik Unisba, Muhammad E Fuady menilai pertemuan antara Rais Aam KH. Miftachul Akhyar dan Ketua Umum PBNU, KH.Yahya Cholil Staquf di Lirboyo, menjadi kabar menggembirakan bagi banyak pihak. 

Pertemuan itu, kata dia, bukan sekadar gestur personal, tetapi menjadi pesan yang menegaskan bahwa konflik mulai mereda.

“Momen tersebut pada dasarnya menandai usainya tarik-menarik legitimasi yang sebelumnya mengemuka di tubuh ormas Islam terbesar di Indonesia ini. Rangkulan itu menjadi  komunikasi simbolik yang menunjukkan arah positif perkembangan PBNU menuju muktamar,” ujar Fuady, Kamis (25/12/2025).

Pertemuan itu juga, kata dia, menunjukkan adanya kesadaran di kalangan elite bahwa perpecahan internal merugikan NU sebagai secara lembaga, sosial, dan politik, terutama bagi jam’iyah di tingkat akar rumput.

“Respons Khatib Aam PBNU, Prof. Mohammad Nuh, menjadi penegasan bahwa ketegangan sudah mereda. Keputusan menyelenggarakan muktamar dalam waktu dekat dapat dibaca sebagai pilihan rasional untuk menjaga ketertiban organisasi dan keutuhan jam’iyah,” katanya. 

Pasca pertemuan Lirboyo, kata Fuady, para elite NU nampaknya akan saling menahan diri dan memprioritaskan marwah organisasi. Kedua pihak memiliki kepentingan yang sama yakni menjadikan muktamar sebagai momentum penyelesaian konflik. 

“Karena itu, elite NU diperkirakan akan menghindari pernyataan publik yang bernuansa konfrontatif dan memilih jalur komunikasi yang lebih sejuk,” ucapnya.

Menurutnya, pada Muktamar nanti siapa saja masih berpotensi dicalonkan atau mencalonkan. Sebab, NU adalah organisasi yang selalu mempertimbangkan dinamika internal dan restu para kiai sebagai bagian penting dari keputusan politik, termasuk keputusan untuk maju sebagai calon ketua umum. 

“Tradisi ‘restu kiai’ ini sering kali lebih menentukan dibanding sekadar kalkulasi prosedural,” katanya. 

Fuady mencontohkan pada masa Abdurahman Wahid atau Gus Dur. Pada era Soeharto, kata dia, Gus Dur secara politik mendapatkan tekanan luar biasa agar tidak maju sebagai Ketua Umum PBNU. Namun dukungan kultural dan legitimasi dari para kiai serta jamaah membuatnya tetap melangkah. 

“Artinya, dalam konteks NU, keputusan untuk maju tidak hanya soal aturan formal, tetapi juga menyangkut pertimbangan etis, moral, dan restu kiai sepuh. Karena itu, dalam situasi sekarang, siapa pun yang hendak maju harus membaca dengan jernih suasana kebatinan para kiai dan warga nahdliyin. Restu, kepercayaan, dan kepekaan terhadap perasaan warga nahdliyin sering kali lebih menentukan daripada sekadar keberanian dan kepentingan personal untuk mencalonkan diri,” ucapnya. 

Selain itu, muktamar NU ini pun, kata dia, akan berdampak pada peta politik nasional. Sebab, NU bukan hanya organisasi keagamaan, tetapi juga kekuatan sosial-politik dengan jaringan pesantren yang luas, struktur kultural yang kuat, serta rekam jejak kontribusi yang signifikan dalam perjalanan kehidupan berbangsa dan bernegara. 

“Karena itu, stabilitas PBNU akan sangat berpengaruh pada stabilitas politik nasional. Konflik di PBNU membuat sebagian warga nahdliyin berada dalam posisi gamang. Ketika konflik berubah menjadi polarisasi, warga nahdliyin berpotensi terfragmentasi karena terseret dalam isu pengkubuan di tingkat elite. Fragmentasi berbasis ‘siapa mendukung siapa’ ini justru berbahaya, sebab menggeser orientasi jamaah dari isu keumatan menuju rivalitas internal antartokoh,” katanya.

Sebaliknya, apabila proses islah berjalan baik dan muktamar melahirkan kepemimpinan yang legitimate, peran sentral NU, baik secara sosial, keagamaan, maupun politik, akan semakin kokoh. 

“Dengan kata lain, arah politik nasional ke depan sangat dipengaruhi oleh bagaimana para elite NU menuntaskan konflik PBNU,” ucapnya.
 

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.