Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) telah menghadirkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Pelindungan Anak. Aturan pembatasan media sosial bagi anak ini akan berlaku di Maret 2026 mendatang.
Menteri Komdigi (Menkomdigi) Meutya Hafid menyebut aturan ini berlaku untuk anak usia 13-16 tahun. Bagi platform media sosial dengan risiko tinggi, anak harus berusia minimal 16 tahun dengan pendampingan orang tua untuk mengaksesnya.
Sedangkan, untuk platform dengan risiko rendah menerapkan minimal usia 13 tahun. Kendati demikian, mereka juga harus didampingi oleh orang tua.
Bagi mereka yang tak patuh pada aturan tersebut, Meutya menyebut ada sanksi yang siap diberikan. Sanksi yang dimaksud berupa administrasi, denda, hingga pemutusan akses.
Menyikapi hal ini, Kepala Pusat Kajian Gender dan Anak (PKGA) IPB University, Yulina Eva Riany beri tanggapan. Ia menyambut baik kebijakan pembatasan usia dalam mengakses medsos di Indonesia.
Hal ini dinilainya bisa jadi langkah awal yang strategis dalam melindungi anak di ruang digital. Namun, aturan saja tidaklah cukup, implementasinya perlu diiringi dengan penguatan literasi digital.
Bisa Jadi Momen Shock Therapy
Seperti yang disebutkan sebelumnya, Menkomdigi menyatakan ada sanksi yang akan diberikan bagi anak yang melanggar. Hal ini selaras dengan apa yang disampaikan oleh Yulina.
Menurutnya, masyarakat Indonesia cenderung lebih patuh terhadap aturan yang disertai sanksi dibanding imbauan semata. Untuk itu, kebijakan ini bisa diposisikan sebagai untuk meningkatkan kesadaran pentingnya melindungi anak di ruang digital.
"Pembatasan media sosial berbasis usia dapat diposisikan sebagai shock therapy awal untuk meningkatkan kesadaran kolektif tentang pentingnya perlindungan anak di ruang digital," ujarnya dikutip dari laman resmi IPB University.
Tak bisa berjalan secara tunggal, Yulina menyarankan perlunya penguatan literasi digital ketika kebijakan ini ditetapkan. Terutama bagi, orang tua dan sekolah agar kebijakan tidak berhenti sebagai aturan administratif.
"Anak-anak memiliki kemampuan adaptasi digital yang sangat cepat, termasuk dalam mencari celah untuk mengakali batasan usia. Karena itu, pembatasan harus diimbangi dengan peningkatan literasi digital orang tua dan sekolah," bebernya.
Literasi digital memungkinkan orang tua melakukan pendampingan anak secara efektif. Sedangkan penguatan literasi digital pada sekolah akan berperan penting dalam membantu menumbuhkan kemampuan berpikir kritis, etika digital, dan kesadaran pada anak tentang risiko di ruang daring.
Pemberian literasi digital pada orang tua maupun sekolah adalah hal yang penting dan tidak boleh dilewatkan. Tanpa hal ini, kebijakan yang disebut dengan PP Tunas tersebut berpotensi tumbuhkan kesenjangan antara regulasi dan praktik nyata di lapangan.
Tantangan PP Tunas
Tantangan besar dari hadirnya PP Tunas pada dasarnya adalah meningkatkan akses medsos secara sembunyi-sembunyi oleh anak. Kondisi ini membuat anak lebih rentan terpapar konten berbahaya, perundungan daring, eksploitasi data pribadi, hingga mengenal ideologi ekstrem.
Untuk itu, ia menilai persiapan matang di seluruh lini adalah faktor penting yang harus diperhatikan sebelum kebijakan diterapkan. Ketika dihadirkan, aturan ini juga harus dirancang secara inklusif.
Bila tidak, anak dari keluarga rentan berisiko kehilangan akses terhadap ruang belajar dan ekspresi diri. Melihat hal ini, Yulina kembali menekankan pentingnya berbagai intervensi afirmatif.
"Seperti edukasi publik yang merata, dukungan bagi sekolah, serta pengembangan strategi pembelajaran yang tidak sepenuhnya bergantung pada media digital," sarannya.
Selain itu, sekolah juga bisa menerapkan pembelajaran berbasis praktik, proyek, dan eksperimen. Metode ini menurutnya dapat menjadi alternatif untuk mencegah ketertinggalan akses pembelajaran.
Memang sanksi yang hadir akan menambah nilai plus pada aturan ini. Meski begitu, Yulina mengingatkan agar pendekatan pembatasan jangan terlalu menekankan larangan.
Jika hal itu terjadi, timbul potensi anak ingin menggunakan akun palsu pada media sosial atau ia menggunakan platform lain yang lebih tertutup dan minim pengawasan.
"Pendekatan yang seimbang antara pembatasan, pendampingan, dan edukasi jauh lebih efektif dibandingkan larangan absolut," tegasnya.
Bagi Yulina, perlindungan anak di ruang digital adalah tanggung jawab bersama. Baik itu orang tua, sekolah, negara, hingga individu itu sendiri.
"Negara berperan sebagai regulator, sekolah sebagai penguat literasi dan karakter, sementara orang tua tetap menjadi pendamping utama anak. Tanpa kolaborasi yang solid, upaya perlindungan anak di dunia digital tidak akan berjalan optimal," pungkasnya.







