Sate Padang di Tepi Laut, Ritual Senja yang Menghidupkan Taplau
December 27, 2025 10:27 PM

TRIBUNPADANG.COM, PADANG- Senja di Pantai Padang selalu punya cara sendiri memanggil orang datang. 

Bukan hanya lewat warna langitnya.

Tetapi juga melalui aroma sate padang yang mengepul dari kuali-kuali panas di tepi laut, menyatu dengan debur ombak dan hiruk-pikuk Taplau. 

Aroma yang sangat spesifik dan menggugah selera ini bisa didapatkan di sepanjang trotoar Jalan Samudera. 

Angin laut yang lembap membawa aroma perpaduan antara wangi arang tempurung kelapa yang terbakar dan rempah kari yang tajam. 

Baca juga: Warga Mulai Padati Masjid Muhammadan, Tak Sabar Saksikan Serak Gulo

‎‎Bagi warga Kota Padang maupun pelancong, momen ini adalah isyarat untuk memulai ritual sore yang tak lekang oleh waktu.

Menikmati sate padang di tepi laut bukan sekadar urusan mengisi perut, melainkan sebuah simfoni rasa yang menyatu dengan alam.

Di Mana Taplau?

Pantai Padang, atau yang sering disebut oleh warga lokal sebagai Taplau (singkatan dari Tapi Lauik), terletak tepat di pusat Kota Padang, Sumbar.

Pantai ini membentang dari daerah Purus hingga ke Jembatan Siti Nurbaya. 

Lokasinya sangat strategis karena berada di kawasan perkotaan.

Ada beberapa patokan (landmark) populer yang memudahkan menemukan titik-titik terbaik di Pantai Padang.

Baca juga: Kisah Handoko Bertahan Satu Jam di Atap Rumah saat Banjir Melanda Lubuk Minturun Padang

Masjid Raya Sumatera Barat: berjarak sekitar 5–10 menit berkendara. 

Dari masjid ini, cukup lurus ke arah Barat menuju pantai.

Bila dari Plaza Andalas atau Pasar Raya Padang hanya perlu menempuh perjalanan sekitar 1–2 kilometer ke arah laut.

‎Di bawah tenda-tenda biru yang mulai bersolek dengan lampu-lampu neon kecil, kepulan asap putih membumbung tinggi.

Para pedagang sate dengan cekatan mengipasi tusukan daging di atas panggangan panjang, menciptakan irama ketukan kipas yang khas.


‎"Sate di sini beda rasanya kalau dimakan sambil melihat ombak. Ada sebuah sensasi yang tiada dua," ujar Winda (42), seorang warga asli Padang yang sore itu memboyong keluarga kecilnya duduk di bebatuan tepi pantai, Sabtu (27/12/2025).

‎Ia mengaku, meski banyak restoran sate legendaris di pusat kota yang menawarkan pendingin ruangan, ia tetap memilih tepian pantai. 

Baginya, suasana Pantai Padang atau yang akrab disebut "Taplau" (Tapi Lauik) memberikan dimensi emosional yang berbeda.

‎"Di sini kita bisa santai, anak-anak bisa melihat orang bermain pasir, memancing, dan kita bisa bicara apa saja sambil menunggu matahari hilang. Sate itu bonusnya, suasananya adalah hidangan utamanya," tambah Winda sembari menyuap sepotong ketupat yang diguyur kuah kental kemerahan.

‎Tak jauh dari tempat Winda duduk, Irwandi (50), seorang pedagang sate yang sudah mangkal di kawasan Pantai Padang hampir dua dekade, tampak sibuk. 

Tangan kanannya tak henti mengaduk kuali besar berisi kuah sate yang meletup-letup.

‎Kuah sate miliknya memiliki warna cokelat kemerahan, ciri khas sate gaya Pariaman yang memang mendominasi kawasan pesisir ini. 

Teksturnya kental, hasil dari perpaduan tepung beras dengan belasan jenis rempah seperti jinten, ketumbar, jahe, kunyit, dan tentu saja cabai merah yang melimpah.

‎"Kuncinya ada di api dan kesabaran. Kalau kuahnya tidak dimasak lama, rempahnya tidak akan keluar',”jelasnya.

‎Ia menjelaskan bahwa dalam semalam, ia harus menyiapkan beberapa kilogram daging sapi, ayam maupun lokan.

Daging-daging tersebut sebelumnya sudah direbus dengan bumbu hingga empuk sebelum akhirnya dibakar sebentar untuk memberikan aroma sedap.

‎Irwandi juga menjelaskan secara singkat bagaimana cara membuat sate dimulai dari potong daging kotak-kotak kecil ukuran 1.5–2 cm agar cepat matang.

Campurkan daging dengan bumbu simpel seperti Kecap manis sedikit minyak goreng (agar tidak lengket) bawang putih halus, ketumbar bubuk, dan garam. 

Diamkan selama 15 menit agar bumbu meresap.

Tusuk daging ke tusukan bambu (isi 3–4 potong per tusuk). 

Bakar di atas panggangan atau teflon dengan api sedang-kecil. 

Bolak-balik sambil sesekali dioles sisa bumbu marinasi hingga warna kecokelatan merata.

‎Magnet bagi pelancong luar daerah ‎popularitas sate di tepi pantai ini ternyata menjangkau hingga ke luar kota.

Hal ini diakui oleh Bayu Saputra (27), seorang wisatawan asal Batusangkar yang sengaja singgah ke Pantai Padang.

“Rasa sate yang pedas nikmat menyatu dengan keindahan pantai Padang,”ucapnya.

‎Ia menambahkan bahwa sensasi menyantap sate sambil mendengarkan deru ombak memberikan kesan mendalam.

Menurutnya, kombinasi ini adalah bentuk wisata kuliner yang sangat otentik dan tidak bisa diduplikasi di mall-mall besar.

‎"Ada sesuatu yang sangat spesial disini. Kita makan di ruang terbuka, berbagi oksigen dengan orang asing di meja sebelah, dan sama-sama terdiam saat langit berubah jadi ungu," tuturnya.

‎Seiring malam yang kian pekat, keramaian di Pantai Padang bukannya menyurut, malah semakin padat.

Lampu-lampu dari kapal nelayan di kejauhan mulai tampak seperti bintang yang jatuh ke laut, bersaing dengan cahaya dari deretan warung sate.

‎Fenomena sate di tepi pantai ini juga menjadi penggerak ekonomi mikro yang luar biasa. 

Di sekitar pedagang sate, muncul ekosistem pendukung lainnya, mulai dari penjual minuman, penyewa mainan anak, hingga pengamen jalanan yang membawakan lagu-lagu nostalgia.

‎Saat piring-piring mulai kosong dan hanya menyisakan jejak bumbu kuning keemasan, pengunjung pulang dengan perut kenyang dan hati yang tenang.

Di belakang mereka, Irwandi kembali mengipasi arangnya, bersiap menyambut pelanggan berikutnya yang datang mencari kehangatan di tengah semilir angin malam.

‎Jejak Panjang dari Pedalaman ke Pesisir

‎Eksistensi sate di tepi pantai ini sebenarnya membawa narasi sejarah yang panjang.

Secara historis, sate padang diyakini berasal dari wilayah Padang Panjang dan Pariaman. 

Konon, kuliner ini sudah ada sejak masa peperangan, dibawa oleh para peziarah dan pedagang yang melintasi wilayah daratan Sumatra Barat.

‎Awalnya, Sate Padang memiliki beberapa varian warna kuah yang melambangkan daerah asalnya. 

Sate Padang Panjang identik dengan kuah berwarna kuning karena penggunaan kunyit yang dominan.

Sementara Sate Pariaman yang paling banyak ditemui di tepi pantai ini memiliki kuah berwarna kemerahan karena penggunaan cabai yang lebih berani.

Seiring waktu, akulturasi rasa di Kota Padang melahirkan "Sate Padang" yang dikenal sekarang sebuah perpaduan bumbu yang merangkul kedua gaya tersebut.

‎Untuk menikmati seporsi kelezatan ini di tepi Pantai Padang, pengunjung tidak perlu merogoh kocek terlalu dalam.

Harga Satu Porsi?

Berdasarkan pantauan di lapangan, harga satu porsi sate padang di kawasan Taplau berkisar antara Rp15.000 hingga Rp20.000 tergantung pada jenis daging yang dipilih.

‎Harga tersebut biasanya sudah termasuk ketupat yang dipotong-potong dan taburan bawang goreng yang melimpah.

Bagi yang ingin menambah sensasi renyah, tersedia kerupuk kulit (jangek) atau keripik singkong pedas seharga Rp2.000 hingga Rp5.000 per bungkus.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.