Saat Wisatawan Keluhkan Kenyamanan Malioboro
December 29, 2025 12:54 PM

 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Malioboro lagi-lagi menjadi perbincangan di libur Natal 2025 dan Tahun Baru 2026 (Nataru) ini.

Yang terbaru, wisatawan mengeluhkan tempat wisata populer di Jogja itu yang dianggap tidak mampu memberikan kenyamanan bagi pengunjung.

Satu di antaranya adalah unggahan wisatawan yang merasa terganggu dengan paparan dan kepulan asap dari para pedagang sate keliling atau asongan.

Keluhan mencuat setelah sebuah akun instagram mengungkap keresahannya saat sedang berbelanja di salah satu toko di kawasan jantung Kota Yogyakarta tersebut.

Dalam unggahan yang viral itu, wisatawan mengaku terganggu dengan kepulan asap sate yang masuk ke dalam area toko, yang berlokasi di depan Gedung DPRD DIY.

“Mau curhat sedikit saya udah beberapa hari di daerah Malioboro dan tadi saya berbelanja di salah satu toko di Malioboro tepatnya di depan masjid depan Kantor DPRD DIY gang Sosrowijayan, saya berbelanja di toko tersebut panas banget ditambah asap tukang sate yang tak beraturan," katanya.

"Saya kasihan sama karyawan dan yang punya toko karena beberapa tidak jadi berbelanja karna asap sate tersebut bahkan ada karyawan sampe sakit mata bahkan menangis karna asap sate tersebut," imbuh keterangan yang diunggah wisatawan itu.

Apa kata Satpol PP?

Menanggapi keluhan tersebut, Kepala Satpol PP Kota Yogyakarta, Octo Noor Arafat menegaskan bahwa pihaknya selama ini tidak tinggal diam.

Bukan tanpa alasan, personelnya sudah sering melakukan tindakan terhadap para pedagang sate yang melanggar aturan di kawasan tersebut.

"Dulu pernah melakukan (sanksi) tipiring (tindak pidana ringan), kemudian berulang kali kita melakukan penyitaan," tandasnya, Minggu (28/12).

Meski tindakan tegas berupa tipiring, hingga penyitaan barang dagangan sudah dilakukan, efek jera nyatanya tak pernah benar-benar muncul.

Main kucing-kucingan

Kasatpol PP pun mengakui, bahwa para pedagang seringkali bermain 'kucing-kucingan' dengan para petugas yang berjaga di lapangan.

"Kami (personel) gabungan di Malioboro sudah rutin patroli, cuma mereka kucing-kucingan. Kita lewat mereka menghilang, lalu kalau kita di situ, muncul di tempat lain," tandasnya.

Menurut pantauannya, mereka sering berpindah lokasi dalam waktu singkat untuk menghindari razia petugas di sepanjang kawasan Malioboro.

Ia mencontohkan, personel Satpol PP pernah mendapat laporan adanya pedagang sate di area Pasar Kembang, namun saat tiba di lokasi mereka sudah bergeser ke titik lain.

Guna mengantisipasi kejadian serupa dan menjaga kenyamanan bersama, pihaknya akan segera berkoordinasi dengan UPT Pengelolaan Kawasan Cagar Budaya, untuk memperketat pengawasan

Octo juga mengimbau kepada wisatawan maupun masyarakat yang merasa terganggu dengan aktivitas pedagang yang tidak tertib agar segera melapor ke petugas yang berjaga di lapangan.

"Di setiap tempat kan ada teman-teman UPT yang stand by menggunakan seragam khusus di beberapa pos. Ada pos-posnya, termasuk ada pos satpol PP yang ada di depan Hotel Mutiara," jelasnya. 

Jogja tidak hanya Malioboro

Kawasan Jalan Malioboro boleh jadi ikon Yogyakarta, tetapi tidak selalu menjadi tujuan utama warganya sendiri.

Ketika kawasan itu penuh sesak, orang Yogya justru memilih mencari alternatif—meninggalkan pusat kota demi lanskap alam di sekitarnya.

Wali Kota Yogyakarta Hasto Wardoyo menilai, kebiasaan tersebut mencerminkan karakter unik warga Yogyakarta.

Keramaian di pusat wisata justru sering membuat warga lokal enggan berkunjung, termasuk ke destinasi yang selama ini identik dengan kota, seperti Malioboro maupun kebun binatang.

“Ini pertanyaan yang agak merepotkan jawabannya. Orang Yogyakarta itu unik. Kadang kalau Malioboro lagi ramai begini, mereka justru malas ke Malioboro,” ujar Hasto.

Menurut Hasto, kondisi tersebut seharusnya tidak dipandang sebagai masalah.

Ia berharap warga yang sudah terlalu sering mengunjungi Malioboro dapat memperluas pilihan wisatanya ke wilayah penyangga Yogyakarta.

“Saya berharap orang Yogyakarta itu, kalau sudah terlalu sering ke Malioboro, ya keluar sedikit. Ke Gunungkidul, ke Kulon Progo, ke Bantul, itu juga bagus,” kata dia.

Pandangan itu sejalan dengan pengalaman sebagian warga.

Agung Pras (32), warga Prambanan, mengaku jarang datang ke Malioboro, terutama saat musim liburan. Menurut dia, keramaian justru mengurangi kenyamanan.

“Kalau Malioboro lagi penuh, rasanya capek duluan. Saya lebih pilih ke tempat yang tenang, kadang ke Kulon Progo atau sekadar cari suasana alam,” ujarnya.

Hal serupa disampaikan Rudi (45), warga Bantul. Ia menilai, sebagai warga lokal, Malioboro bukan lagi tujuan utama rekreasi keluarga.

“Malioboro itu buat tamu dari luar kota. Kalau kami, lebih enak cari tempat yang tidak terlalu ramai, apalagi kalau bawa anak,” kata Rudi.

Lebih fleksibel

Sementara itu, Putri (27), warga Sleman yang bekerja di Kota Yogyakarta, mengatakan ia lebih fleksibel memilih destinasi wisata di sekitar DIY.

Menurut dia, pilihan tempat wisata di luar kota justru memberi pengalaman berbeda.

Hasto menegaskan, warga Yogyakarta pada dasarnya tidak mengalami kesulitan mencari tujuan wisata.

Saat merasa jenuh dengan suasana kota, berbagai destinasi alam di sekitar Yogyakarta dapat dijangkau dengan relatif mudah.

“Saya kira orang Yogyakarta tidak kesulitan mencari wisata. Kalau merasa jenuh di kota, ayo ke Nglinggo, kebun teh dan kawasan Suroloyo sekarang sudah bagus. Kulon Progo juga dekat,” ujar Hasto.

Selain kawasan perbukitan, ia menyebut pantai-pantai di selatan Yogyakarta sebagai pilihan lain, bergantung pada kepadatan pengunjung.

Ia menambahkan, keberagaman destinasi menjadi keunggulan Yogyakarta dibandingkan daerah lain yang memiliki pilihan wisata terbatas. (Tim Tribun Jogja)

 

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.