TRIBUNTRENDS.COM - Sekilas, film ini tampak seperti thriller bencana pada umumnya.
Namun seiring cerita berjalan, The Great Flood justru menjelma menjadi drama fiksi ilmiah berlapis yang mengajukan pertanyaan filosofis tentang ingatan, emosi, dan arti menjadi manusia.
Bergenre fiksi ilmiah dibintangi Kim Da Mi dan tayang di Netflix, film Korea ini mendapat sambutan besar.
Baca juga: Nasib Pandora di Ujung Tanduk, James Cameron: Avatar 4 dan 5 Bisa Dibatalkan Jika Fire and Ash Gagal
Kim Da Mi memerankan An-na, sementara Park Hae-soo tampil sebagai Hee-jo.
Keduanya berada di pusat cerita tentang kehancuran dunia yang perlahan membuka rahasia jauh lebih besar dari sekadar bencana alam.
Kisah dimulai dengan peristiwa dahsyat ketika sebuah asteroid menghantam Antartika dan memicu banjir global.
Kota-kota di berbagai belahan dunia perlahan tenggelam, menciptakan kepanikan dan kehancuran masif.
Di tengah situasi tersebut, An-na berusaha menyelamatkan diri dari apartemennya yang terendam air bersama Ja-in, seorang anak yang ia besarkan dan lindungi layaknya anak kandung.
Adegan-adegan awal film dipenuhi ketegangan, memperlihatkan perjuangan fisik dan emosional untuk bertahan hidup di tengah dunia yang runtuh.
Namun, bencana ternyata hanya permukaan dari cerita yang lebih kompleks.
Setelah An-na berhasil mencapai atap gedung dan dievakuasi oleh sebuah tim misterius, arah cerita berubah drastis.
Penonton dibawa ke realitas tersembunyi di mana para ilmuwan telah lama menyadari bahwa Bumi tak lagi bisa diselamatkan.
Fokus mereka bukan pada kelangsungan planet, melainkan pada upaya mempertahankan esensi kemanusiaan.
Terungkap bahwa An-na bekerja untuk sebuah organisasi rahasia yang mengembangkan kecerdasan buatan demi melanjutkan peradaban.
Ja-in, sosok anak yang selama ini ia lindungi, ternyata bukan manusia biologis, melainkan AI canggih yang dirancang menyerupai manusia secara utuh.
Banjir global sendiri digunakan sebagai simulasi ekstrem untuk menguji satu hal yang belum mampu dikuasai AI: emosi sejati.
An-na kemudian dibawa ke laboratorium luar angkasa dan diperkenalkan pada Emotion Engine, sistem yang bertujuan menanamkan kedalaman emosional pada kecerdasan buatan.
Namun alih-alih sekadar menjadi pengamat, An-na justru terjebak di dalam eksperimen itu.
Ia dipaksa mengulang hari banjir berulang kali dalam sebuah simulasi.
Setiap kegagalan menyelamatkan Ja-in membuat waktu kembali direset.
Awalnya, ingatan An-na terpecah dan kabur.
Namun seiring pengulangan, potongan masa lalu perlahan kembali, rasa kehilangan, rasa bersalah, dan sumpah untuk tidak pernah meninggalkan Ja-in.
Eksperimen ini pun bergeser makna. Tujuannya bukan lagi sekadar pembuktian teknologi, melainkan pencarian inti kemanusiaan: cinta, ingatan, dan pengorbanan.
Pada siklus terakhir simulasi, An-na akhirnya mengingat segalanya.
Ia bertindak dengan kesadaran penuh, menemukan Ja-in melalui detail kecil yang hanya bisa diketahui oleh seseorang yang benar-benar mencintai dan mengenalnya.
Keberhasilan ini menandai akhir eksperimen.
Dalam adegan penutup, An-na dan Ja-in terlihat bersama di sebuah wahana luar angkasa, memandang Bumi dari kejauhan.
Film ini sengaja tidak memberi jawaban pasti apakah An-na masih manusia atau sekadar rekonstruksi dari ingatan dan emosi.
Ambiguitas tersebut menjadi kekuatan The Great Flood, yang menegaskan bahwa esensi kemanusiaan tidak terletak pada tubuh, melainkan pada kemampuan untuk mencintai dan berkorban.
Pada akhirnya, The Great Flood bukan hanya kisah tentang akhir dunia, melainkan refleksi tentang apa yang layak diselamatkan ketika segalanya runtuh.
Film ini menyampaikan pesan bahwa bertahan hidup tanpa emosi adalah kehampaan.
Dunia boleh berakhir, tetapi selama cinta, ingatan, dan pengorbanan masih ada, dalam bentuk apa pun, kemanusiaan belum benar-benar punah.
***
(TribunTrends.com/MNL)