TRIBUNJOGJA.COM - Wacana mengembalikan mekanisme pemilihan kepala daerah melalui DPRD dinilai tidak serta-merta mampu mengatasi praktik politik uang dan manipulasi dalam demokrasi lokal.
Dosen Program Studi Doktor Politik Islam sekaligus Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Prof. Dr. Zuly Qodir, M.Ag., menilai argumentasi efisiensi dan pengurangan manipulasi masih menyisakan persoalan mendasar.
Menurut Zuly, pemilihan langsung yang sebelumnya diterapkan juga lahir dari asumsi serupa, yakni menekan praktik transaksional. Namun, asumsi tersebut terbukti keliru karena biaya politik justru membengkak.
“Dulu argumentasinya kalau dipilih langsung oleh rakyat, kemungkinan manipulatifnya rendah. Karena dianggap tidak masuk akal ada orang berani membayar satu orang Rp 500.000 dikali satu juta pemilih. Ternyata argumentasi itu terbantahkan. Ada banyak orang yang berani membayar, sehingga biaya untuk menjadi calon kepala daerah bisa mencapai miliaran, bahkan ratusan miliar rupiah, baik di Jawa maupun di luar Jawa,” ujar Zuly, Senin (29/12/2025).
Ia menilai, pengembalian mekanisme pemilihan kepala daerah melalui DPRD - terutama di tingkat kabupaten—tidak otomatis menghilangkan praktik serupa. Skema ini, kata dia, justru berpotensi memindahkan konsentrasi transaksi dari pemilih ke anggota dewan.
“Dengan misalnya 34 anggota DPRD di tingkat kabupaten, atau 35, atau 40, kalau masing-masing menargetkan satu orang satu miliar, berarti 40 miliar. Bedanya, uangnya sekarang terkumpul di anggota dewan,” kata Zuly.
Zuly mengakui, secara teoritis jalur pembuktian bisa menjadi lebih mudah karena transaksi terpusat pada aktor yang terbatas. Namun, ia meragukan efektivitasnya jika tidak disertai keberanian untuk membuka praktik tersebut ke publik.
“Pertanyaannya, apakah calon kepala daerah berani mengatakan secara terbuka bahwa ia memberikan sekian miliar kepada anggota dewan? Dan apakah masing-masing anggota dewan juga berani mengaku menerima sekian? Kalau tidak berani, maka argumentasi bahwa cara ini mengurangi manipulasi patut diragukan,” ujarnya.
Dari sisi hukum tata negara, Zuly menyebut pemilihan kepala daerah oleh DPRD dapat dibenarkan karena sesuai dengan prinsip demokrasi perwakilan. Anggota DPRD merupakan wakil rakyat yang dipilih melalui pemilu.
“Demokrasi tidak selalu berarti semua orang memilih secara langsung. Demokrasi perwakilan itu sah. Dalam Pancasila juga dikenal musyawarah perwakilan. Masalah utamanya bukan di situ, melainkan apakah dengan cara ini kita yakin tidak terjadi manipulasi yang membengkak,” kata Zuly.
Ia juga menyoroti keterlibatan masyarakat dalam praktik transaksional sebagai persoalan serius dalam kualitas demokrasi Indonesia. Menurut dia, demokrasi yang berjalan saat ini masih bersifat prosedural, belum substantif.
“Ciri demokrasi berkualitas itu berdemokrasi tanpa transaksional dan menghasilkan keadilan serta kesejahteraan yang merata. Faktanya, akses kesejahteraan belum merata, stabilitas belum sepenuhnya terjamin, dan praktik manipulatif masih belum terjangkau pengawasannya,” ujarnya.
Zuly menekankan pentingnya pengawasan ketat jika skema pilkada melalui DPRD benar-benar diterapkan. Pengawasan, menurut dia, harus dilakukan sejak tahap pendaftaran hingga pelantikan kepala daerah, serta melibatkan masyarakat sipil, media, dan perguruan tinggi.
“Kalau sudah ada jadwal pendaftaran resmi dan seseorang mencalonkan diri lalu memberikan uang kepada partai, anggota dewan, atau pejabat daerah, maka itu manipulatif, berapa pun jumlahnya. Walaupun dia bilang itu ikhlas, tetap manipulatif. Sampai sebelum pelantikan, semua pemberian itu harus dianggap manipulasi,” kata Zuly.
Pengawasan tersebut, lanjut dia, tidak hanya ditujukan kepada calon kepala daerah, tetapi juga kepada anggota DPRD dan partai politik.
Selain itu, mekanisme pelaporan harus dibuat jelas oleh KPU dan Bawaslu, termasuk jaminan perlindungan bagi pelapor dan saksi.
“Kalau tidak ada perlindungan, tidak akan ada orang yang berani melapor, apalagi kalau setelah melapor justru mendapat ancaman,” ujarnya.
Zuly juga menilai keterlibatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) penting dalam mengawasi praktik transaksional. Namun, ia menegaskan Bawaslu harus menjadi aktor utama dalam pengawasan aktif, bukan sekadar bekerja secara periodik.
“KPU dan Bawaslu jangan hanya bekerja lima tahunan. Kritik saya jelas, demokrasi kita masih sangat prosedural, belum berkualitas,” kata Zuly.
Zuly turut mengingatkan bahwa efisiensi anggaran tidak boleh mengorbankan kualitas demokrasi. Tanpa pengawasan yang kuat dan transparan, perubahan mekanisme pemilihan berisiko hanya memindahkan praktik manipulasi, bukan menghilangkannya.
Wacana pilkada tidak langsung kembali menguat seiring pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilu. Sejumlah partai politik besar mendorong perubahan mekanisme dengan alasan mahalnya ongkos politik dan maraknya praktik politik uang dalam pilkada langsung.
Pada 23 Juli 2025, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Abdul Muhaimin Iskandar mengusulkan pilkada dilakukan melalui DPRD. Gagasan serupa kembali disampaikan Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia pada 5 Desember 2025 dalam peringatan HUT Ke-61 Golkar di Istora Senayan, Jakarta, dan mendapat respons positif dari Presiden Prabowo Subianto.
Partai Gerindra menyatakan dukungan terhadap pilkada lewat DPRD di semua tingkatan. Sekretaris Jenderal Gerindra Sugiono menyebut skema tersebut lebih efisien dari sisi anggaran dan waktu. Ia mengungkapkan dana hibah APBD untuk pilkada meningkat dari hampir Rp 7 triliun pada 2015 menjadi lebih dari Rp 37 triliun pada 2024.
“Itu merupakan jumlah yang bisa digunakan untuk hal-hal lain yang sifatnya lebih produktif, upaya-upaya peningkatan kesejahteraan dan ekonomi rakyat,” ujar Sugiono sebagaimana dilansir dari laman Kompas.