TRIBUNBANYUMAS.COM, PURWOKERTO - Suara kritis meluncur dari kaki Gunung Slamet, tepatnya dari sebuah forum diskusi di Cor Hotel Purwokerto. Bukan soal bencana alam atau hiruk pikuk pilkada, melainkan sebuah "alarm" peringatan yang ditujukan langsung ke Istana Negara. Sejumlah akademisi Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) merasa perlu mengingatkan Presiden Prabowo Subianto soal satu hal penting yang tampaknya terlupakan: Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres).
Sudah satu tahun pemerintahan berjalan, namun kursi-kursi penasihat presiden yang diamanatkan konstitusi itu masih kosong melompong. Hal ini memicu kekhawatiran para pakar dalam diskusi bertajuk "Refleksi Akhir Tahun - Pesan dari Gunung Slamet: Satu Tahun Pemerintahan Tanpa Wantimpres", Senin (29/12/2025).
Pakar Hukum Tata Negara Unsoed, Prof Riris Ardhanariswari, membuka diskusi dengan fakta hukum yang tak bisa dibantah. Baginya, pembentukan Wantimpres bukan sekadar "sunnah" atau pilihan, melainkan kewajiban mutlak.
Baca juga: Nahkodai PDIP Banyumas, Bupati Sadewo Gercep Lengkapi Susunan Pengurus DPC 2025 - 2030
"Pasal 16 UUD 1945 jelas memerintahkan pembentukan Wantimpres. Setelah amandemen keempat, keberadaan Wantimpres itu wajib, bukan opsional," tegasnya saat berbincang dengan Tribunbanyumas.com.
Prof Riris menyoroti ironi yang terjadi. Di saat Wantimpres yang merupakan perintah undang-undang justru kosong, istana malah disesaki oleh barisan utusan khusus, penasihat khusus, hingga staf khusus. Menurutnya, kondisi ini bukan hanya melanggar etika tata negara, tapi juga pemborosan anggaran.
Padahal, mekanisme Wantimpres jauh lebih efisien dan seimbang ketimbang menumpuk kewenangan pada Sekretaris Kabinet atau staf khusus yang berlapis-lapis.
"Ini lebih efisien dibandingkan mekanisme berlapis melalui Sekretaris Kabinet," jelasnya. Ia berharap Presiden segera mengombinasikan figur ahli baru dengan tokoh senior untuk mengisi pos ini agar kebijakan negara lebih presisi.
Lantas, kenapa hal se-urgen ini bisa terlewat sampai setahun? Dosen FISIP Unsoed, Luthfi Makhasin, punya analisis menarik dari sisi politik. Menurutnya, Presiden Prabowo saat ini berada di atas angin dengan dukungan politik yang sangat gemuk, sehingga merasa "aman" meski tanpa lembaga penasihat formal.
"Akomodasi politik sudah terpenuhi. Kabinet gemuk, posisi strategis di eksekutif dan lembaga non-kementerian sudah terisi, sehingga aturan formal seperti Wantimpres akhirnya terkesan diabaikan," ungkap Luthfi.
Senada dengan Luthfi, mantan Anggota DPR RI, Honing Sanny, menyebut keterlambatan ini sudah masuk ranah pelanggaran undang-undang. Seharusnya, Wantimpres sudah terbentuk paling lambat tiga bulan setelah pelantikan, alias Januari 2025 lalu. Sayangnya, DPR yang semestinya menjadi pengawas, justru diam karena didominasi partai pendukung pemerintah.
"Undang-undang itu tegas menyebutkan Wantimpres harus dibentuk paling lambat tiga bulan setelah presiden dilantik. Jika dilantik 20 Oktober 2024, maka 20 Januari 2025 seharusnya sudah terbentuk," ujarnya mengingatkan.
Peringatan paling filosofis datang dari Koordinator Ikatan Alumni Lemhannas (IKAL) 64, Bambang Barata Aji. Ia khawatir, tanpa Wantimpres yang diisi tokoh-tokoh senior dan independen, Presiden hanya akan dikelilingi oleh para "yes man" atau bawahan yang merasa inferior (rendah diri) di hadapan sosok Prabowo yang kuat.
Akibatnya, masukan yang sampai ke telinga Presiden menjadi tidak objektif. Padahal, seorang pemimpin butuh second opinion yang jujur dan berani.
"Tidak ada orang yang sempurna. Presiden membutuhkan tidak hanya second opinion, tapi juga nasihat dari para senior. Saat ini kabinet nampak diisi orang-orang yang inferior, padahal peran penasihat setingkat Wantimpres atau DPA sangat vital," kata Bambang.
Sebagai penutup yang menyentuh sisi emosional, Bambang mengingatkan sejarah keluarga Presiden sendiri. Kakek Prabowo, Margono Djojohadikusumo, adalah putra asli Banyumas yang tercatat dalam sejarah sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA) pertama. Membentuk Wantimpres, sejatinya adalah menghormati warisan sejarah sekaligus menjalankan amanat konstitusi.