TRIBUN-SULBAR.COM, MAMUJU – Dewan Pimpinan Daerah Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (DPD IMM) Sulawesi Barat menyatakan sikap tegas menolak wacana pengembalian sistem Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara tidak langsung melalui DPRD.
Penolakan ini disampaikan menyusul menguatnya kembali diskursus tersebut di penghujung tahun 2025.
Ketua Bidang Hikmah dan Kebijakan Publik DPD IMM Sulbar, Irwan Japaruddin, menilai bahwa gagasan mengembalikan mandat pemilihan ke tangan legislatif adalah langkah mundur yang menciderai prinsip demokrasi dan konstitusi.
Baca juga: Polisi Sebut Unsur Pidana Tidak Terhapus Meski Pelaku Perjadin Fiktif DPRD Sulbar kembalikan Uang
Baca juga: Kanwil Kemenkum Sulbar Ikuti Bimtek Pencatatan Realisasi PBJ Tahun 2025
Irwan menjelaskan bahwa landasan utama penolakan ini adalah Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945, yang mengamanatkan bahwa Gubernur, Bupati, dan Walikota dipilih secara demokratis.
"Jika kita bedah kembali asbabul nuzul atau latar belakang sejarah amandemen kedua Pasal 18 ayat 4 tersebut, semangatnya sangat jelas, yakni Pilkada langsung oleh rakyat. Mengalihkan hak pilih rakyat ke DPRD berarti mengabaikan kedaulatan rakyat yang merupakan roh dari demokrasi kita," tegas Irwan dalam keterangan tertulisnya, Senin (29/12/2025).
Menurutnya, partisipasi langsung masyarakat dalam memilih pemimpin daerah adalah satu-satunya instrumen kontrol publik yang tersisa dalam realitas politik Indonesia saat ini.
Biaya Mahal dan Data Korupsi
Terkait alasan sejumlah partai politik seperti Gerindra, Golkar, dan PKB yang mendorong Pilkada tidak langsung karena alasan biaya politik (cost politics) yang tinggi, IMM Sulbar menilai argumen tersebut tidak menyentuh akar persoalan.
Irwan mengungkapkan bahwa mahalnya biaya Pilkada bukan disebabkan oleh sistem pemilihan langsungnya, melainkan oleh praktik mahar politik dan politik uang yang terjadi di internal elit partai.
"Data menunjukkan bahwa biaya yang dikeluarkan kandidat untuk membeli pintu partai atau mahar seringkali jauh lebih besar dari pada biaya operasional kampanye itu sendiri. Framing bahwa partisipasi masyarakat yang membuat Pilkada mahal adalah penyesatan logika," tambahnya.
Berdasarkan data tren korupsi, banyak kepala daerah yang terjerat kasus hukum di KPK justru berakar dari upaya pengembalian modal besar yang dikeluarkan saat pencalonan, termasuk untuk mahar partai. Jika pemilihan dikembalikan ke DPRD, kekhawatiran akan munculnya pasar gelap suara di tingkat legislatif justru berpotensi meningkatkan praktik korupsi transaksional yang lebih tertutup.
Benahi Partai, Bukan Pangkas Hak Rakyat
Alih-alih mengubah sistem pemilihan menjadi tidak langsung, IMM Sulbar mendesak adanya reformasi total pada regulasi partai politik dan sistem pemilu.
Oleh karena itu kami mendesak agar segera dilakukan revisi UU Partai Politik untuk memperketat pengawasan terhadap aliran dana kampanye dan melarang keras mahar politik.
Kemudian mendesain ulang model kampanye menjadi lebih murah melalui fasilitasi negara di media digital dan ruang publik. Serta memperkuat peran lembaga pengawas untuk menindak tegas setiap praktik politik uang.
"Indonesia tidak kekurangan ahli untuk mendesain sistem pemilu yang murah tanpa harus memangkas hak rakyat. Persoalan ini murni ada di tatanan elit, dan solusi yang tepat adalah membenahi internal partai, bukan justru membunuh demokrasi di tingkat akar rumput," pungkas Irwan. (*)