TRIBUNPRIANGAN.COM, BANDUNG - Anggota DPR RI bersama Forum Penyelamat Hutan Jawa, pakar lingkungan, dan aktivis budaya dan kehutanan menggelar diskusi dan refleksi akhir tahun di Jalan Citarum, Kota Bandung, Selasa (30/12/2025). Diskusi mengambil tema stop bagi-bagi lahan hutan 1,1 juta hektare di pulau Jawa.
Diskusi ini menyoroti kebijakan pengelolaan kawasan hutan, khususnya di wilayah Gunung Wayang dan Situ Cisanti yang merupakan hulu Sungai Citarum.
Anggota DPR RI Komisi IV, Dadang Naser, secara tegas menyampaikan komitmennya untuk mengawasi dan meminta evaluasi kebijakan Kementerian Kehutanan yang memberikan pengelolaan kawasan hutan Gunung Wayang kepada ratusan penggarap melalui skema perhutanan sosial atau Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK).
Dadang menegaskan, sejak zaman kolonial Belanda, kawasan Gunung Wayang telah ditetapkan sebagai kawasan lindung dan saat ini tengah diarahkan menjadi Taman Hutan Raya (Tahura).
“Sejak dulu ini kawasan lindung. Kalau dikelola melalui skema perhutanan sosial dan dibagi-bagi kepada penggarap, risikonya sangat besar. Hutan Gunung Wayang bisa rusak,” tegas Dadang.
Ia menilai terdapat tumpang tindih kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah, di mana Pemerintah Provinsi Jawa Barat tengah mengupayakan Gunung Wayang dan Gunung Sanggabuana sebagai Tahura, namun di sisi lain muncul kebijakan pembagian pengelolaan hutan.
“Sudah saya sampaikan, ini seperti ada tumpang tindih aturan. Provinsi sedang mengupayakan Tahura Gunung Wayang dan Sangga Buana, tapi ada pembagian pengelolaan hutan di kawasan yang sama,” katanya.
Menurut Dadang, persoalan ini harus segera diselesaikan karena hutan lindung seharusnya tetap berfungsi sebagai kawasan konservasi.
Ia juga menyoroti lemahnya substansi Undang-Undang Cipta Kerja yang tidak lagi mencantumkan ketentuan minimal 30 persen kawasan hutan dari luas wilayah sebagai prasyarat ekologis.
“Saat ini sedang dibentuk Panitia Kerja untuk merevisi regulasi tersebut agar aspek perlindungan lingkungan kembali diperkuat,” ujarnya.
Sementara itu, pakar lingkungan dan sumber daya air, Prof Chay Asdak, menegaskan pentingnya pengelolaan hutan oleh pihak yang memiliki kompetensi ilmiah dan pengalaman teknis.
Ia memperingatkan, alih fungsi hutan lindung ke dalam skema KHDPK tanpa pengelolaan yang tepat berpotensi memicu bencana ekologis.
“Situ Cisanti dan Gunung Wayang bukan sekadar kawasan hutan, ini adalah peradaban dan budaya Sunda. Kalau terganggu, peradabannya juga bisa rusak,” kata Chay.
Ia juga menekankan pentingnya peran embung-embung di wilayah Bandung Raya sebagai bagian dari sistem pengelolaan sumber daya air.
Ketua Forum Penyelamat Hutan Jawa, Eka Santosa, menekankan perlunya rekonstruksi kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah agar tidak terjadi tumpang tindih kebijakan.
Ia bahkan menyatakan kebijakan menteri terkait pengelolaan kawasan Gunung Wayang akan ditempuh melalui jalur hukum.
“Kami melihat ini serius. Tumpang tindih kewenangan harus dibenahi, dan kebijakan yang keliru harus diuji secara hukum,” tegas Eka.
Hal senada disampaikan Iman Sandjojo. Ia menilai penerapan KHDPK tanpa persiapan matang berpotensi menjadi awal kehancuran hutan di Pulau Jawa.
“Hutan adalah infrastruktur alami yang mampu mengelola sekitar 3,3 miliar meter kubik air hujan dan menopang kehidupan lebih dari 130 hingga 200 juta jiwa setiap tahun. Fungsi ekologis harus menjadi prioritas utama,” ujarnya.
Diskusi tersebut menghasilkan sejumlah rekomendasi penting, di antaranya mendesak dikembalikannya syarat minimal 30 persen kawasan hutan dalam revisi UU Cipta Kerja, penghentian sementara program KHDPK untuk audit menyeluruh seluas 1,1 juta hektare di Pulau Jawa, serta dukungan terhadap kebijakan Pemprov Jabar dalam pengendalian alih fungsi lahan.
Selain itu, forum juga mendorong perubahan fungsi sejumlah kawasan hutan, termasuk Gunung Wayang, Gunung Sanggabuana, dan Gunung Cikuray, menjadi kawasan konservasi demi menjaga keberlanjutan lingkungan dan kearifan lokal.(*)