Atribut GAM di Tengah Insiden Bantuan Banjir: Ekspresi Kekecewaan Aceh terhadap Penanganan Bencana
December 30, 2025 07:14 PM

 

TRIBUNJOGJA.COM - Kemunculan atribut Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dalam insiden ketegangan antara aparat TNI dan warga Aceh saat pengawalan bantuan banjir, 25 Desember 2025, dinilai tidak tepat jika langsung dimaknai sebagai kebangkitan kembali gerakan separatis di Aceh.

Insiden tersebut terjadi di wilayah perbatasan Aceh Utara dan Kabupaten Bireuen ketika aparat melakukan pengawalan distribusi bantuan bagi korban banjir.

Peristiwa itu sempat memunculkan perhatian publik karena diwarnai penggunaan atribut GAM di tengah interaksi antara aparat dan warga.

Kekecewaan warga Aceh

Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Biantara Albab, S.H., M.Si., menilai kemunculan simbol GAM dalam konteks tersebut lebih tepat dipahami sebagai ekspresi kekecewaan masyarakat terhadap penanganan bencana, bukan sebagai indikasi bangkitnya kembali gerakan separatisme di Aceh.

“Saya lebih memaknai kemunculan atribut GAM tersebut bukan sebagai simbol bangkitnya gerakan separatis seperti di masa lalu. Peristiwa ini lebih tepat dipahami sebagai bentuk simbolik atau ‘peringatan’ atas kegelisahan masyarakat. Terutama terkait keseriusan pemerintah pusat dalam menangani bencana di Aceh,” ujar Biantara, Selasa (30/12/2025).

Menurut Biantara, separatisme secara prinsip merupakan tindakan yang dilarang dalam sistem hukum Indonesia. Namun, ia mengingatkan agar aparat maupun masyarakat luas tidak tergesa-gesa memberikan label separatis terhadap setiap bentuk simbol atau ekspresi kekecewaan yang muncul di ruang publik.

Penanganan bencana bermasalah

Ia menilai, penarikan insiden tersebut ke ranah politik yang lebih jauh, termasuk mengaitkannya dengan kegagalan implementasi perdamaian Aceh, merupakan langkah yang tidak tepat dan berpotensi mengaburkan persoalan utama yang dihadapi masyarakat.

“Menarik peristiwa ini terlalu jauh ke ranah politik atau mengaitkannya dengan kegagalan implementasi perdamaian Aceh adalah langkah yang tidak tepat. Substansi utama dari kejadian tersebut adalah persoalan penanganan bencana dan distribusi bantuan yang masih dirasakan belum optimal oleh masyarakat,” jelasnya.

Prinsip HAM

Dalam konteks respons aparat terhadap situasi tersebut, Biantara menekankan pentingnya pendekatan yang berlandaskan prinsip hak asasi manusia. Ia menilai penggunaan pendekatan represif justru berpotensi memperkeruh keadaan dan memicu ketegangan baru di tengah proses pemulihan Aceh pascabencana.

“Dalam situasi non-konflik bersenjata dan tanpa dasar hukum yang jelas, aparat seharusnya mengedepankan pendekatan persuasif, dialogis, dan proporsional. Pendekatan kekerasan tidak sejalan dengan semangat perdamaian Aceh yang telah dibangun,” tegasnya.

Biantara menambahkan, dialog, komunikasi, dan mekanisme rekonsiliasi perlu menjadi pilihan utama dalam menghadapi situasi semacam ini. 

Menurut dia, masih terdapat aspirasi masyarakat yang belum tersampaikan secara memadai kepada pemerintah pusat, khususnya terkait penanganan bencana.

Ia menekankan bahwa kehadiran negara secara adil, responsif, dan setara menjadi kunci utama dalam menjaga kepercayaan publik, terutama di wilayah yang memiliki sejarah konflik sekaligus kerentanan terhadap bencana seperti Aceh.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.