TRIBUNJATIM.COM - Kasus Gedung Negara Grahadi di Surabaya dibakar massa pada Agustus 2025 lalu membuat pemuda bernama Alfarisi harus mendekam di penjara.
Alfarisi kini meninggal dunia menjelang sidang atas tuduhan melempar bom molotov ke Gedung Grahadi pada Selasa (30/12/2025).
Alfarisi mengembuskan napas terakhirnya di Rumah Tahanan (Rutan) Kelas I Surabaya di Medaeng Sidoarjo, sekitar pukul 06.00 WIB.
Alfarisi dituduh melempar bom molotov Gedung Grahadi saat aksi demonstrasi pada Agustus 2025 lalu.
Tuduhan itu membuatnya diproses hukum hingga ditetapkan sebagai terdakwa dan ditahan di Rutan Kelas I Surabaya di Medaeng.
Namun, ia meninggal dunia hanya beberapa hari sebelum agenda penting persidangan.
Baca juga: Breaking News - Terdakwa Pembakaran Gedung Grahadi Tewas di Rutan Medaeng Jelang Sidang Tuntutan
Alfarisi bin Rikosen merupakan pemuda berusia 21 tahun asal Sampang, Madura, Jawa Timur.
Ia tinggal bersama kakak kandungnya di sebuah kamar kos sederhana di Jalan Dupak Masigit, Kelurahan Jepara, Kecamatan Bubutan, Surabaya.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, keduanya mengelola warung kopi kecil di teras tempat tinggal mereka.
Alfarisi ditangkap pada 9 September 2025 sekitar pukul 11.00 WIB di tempat tinggalnya.
Ia kemudian ditetapkan sebagai terdakwa dalam kasus dugaan kepemilikan atau keterlibatan dengan senjata api, amunisi, atau bahan peledak yang berkaitan dengan peristiwa pelemparan bom molotov.
Setelah ditangkap, Alfarisi sempat ditahan di Polrestabes Surabaya sebelum dipindahkan ke Rutan Kelas I Surabaya di Medaeng untuk menjalani proses hukum lebih lanjut.
Kabar duka pertama kali diterima Koordinator Badan Pekerja KontraS Surabaya, Fatkhul Khoir, dari pihak keluarga sekitar pukul 08.30 WIB di hari yang sama.
Jenazah Alfarisi kemudian dipulangkan dan disemayamkan di tanah kelahirannya, Sampang, Madura.
Baca juga: Pemuda Bulak Banteng Ajukan Eksepsi Didakwa Bawa Molotov saat Demo di Gedung Grahadi Surabaya
Fatkhul menjelaskan, selama masa penahanan, berat badan Alfarisi menurun secara drastis.
Diperkirakan mencapai 30 hingga 40 kilogram.
Kondisi tersebut dinilai menunjukkan tekanan psikologis yang berat serta kuatnya dugaan tidak terpenuhinya layanan kesehatan yang layak di dalam rutan.
Meninggalnya Alfarisi membuat seluruh rangkaian perkaranya otomatis gugur.
Pada 5 Januari 2026 mendatang, Alfarisi seharusnya menghadapi sidang pembacaan tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum Ahmad Muzakki di Pengadilan Negeri Surabaya.
Sebenarnya menjelang hari tuntutan, keluarga sempat menjenguk Alfarisi.
Saat itu, Alfarisi tidak mengeluhkan kondisi kesehatan yang serius.
Namun tak lama setelah kunjungan tersebut, kabar duka datang dari dalam rutan.
Fatkhul Khoir menyebutkan, berdasarkan keterangan rekan satu sel, sebelum meninggal dunia, Alfarisi sempat mengalami kejang-kejang.
“Kematian Alfarisi saat berada dalam penguasaan penuh negara kembali menegaskan buruknya kondisi penahanan di Indonesia, serta kegagalan negara dalam melindungi hak atas hidup dan memastikan perlakuan yang manusiawi bagi setiap tahanan,” ujar Fatkhul.
Baca juga: Nasib 3 ASN yang Terdampak Kerusuhan saat Aksi di Gedung Grahadi Dapat Ganti Rugi dari Gubernur
KontraS menilai setiap kematian yang terjadi di dalam tahanan negara merupakan indikator serius adanya kegagalan sistem.
Oleh karena itu, negara dinilai wajib melakukan penyelidikan yang cepat, independen, dan transparan untuk mengungkap penyebab kematian Alfarisi.
KontraS Surabaya dan Federasi KontraS mendesak pemerintah untuk melakukan penyelidikan menyeluruh, memastikan adanya pertanggungjawaban hukum atas dugaan kelalaian aparat.
Serta melakukan evaluasi terhadap kondisi penahanan di Rutan Medaeng dan rutan lainnya.
“Kematian Alfarisi tidak boleh dipandang sebagai peristiwa yang berdiri sendiri, melainkan bagian dari pola berulang kematian di dalam tahanan yang mencerminkan krisis serius dalam sistem pemasyarakatan dan penegakan hukum di Indonesia,” tegas Fatkhul.
Baca juga: Rekonstruksi Gedung Grahadi Pascakerusuhan Akan Ditanggung Penuh oleh Pemerintah Pusat: Rp9 M