Tahun 2026: Tonggak Kebangkitan Ekonomi Pancasila
December 31, 2025 04:22 PM

Oleh: Prof Dr Drs HAM Nurdin Halid

Wakil Ketua Komisi VI DPR RI

TRIBUN-TIMUR.COM - Perekonomian Indonesia memasuki periode transisi penting pascapemulihan pandemi Covid-19 dan penyesuaian global.

Secara makro, pertumbuhan ekonomi nasional dalam dua tahun terakhir relatif stabil di kisaran 5,0–5,1 persen, dengan inflasi yang berhasil dijaga pada rentang sasaran 2,5 ±1 persen.

Stabilitas ini mencerminkan keberhasilan kebijakan fiskal dan moneter dalam menjaga daya beli masyarakat.

Namun, di balik angka tersebut, masih terdapat persoalan struktural seperti kemiskinan, pengangguran, ketimpangan pendapatan, keterbatasan lapangan kerja berkualitas, serta ketergantungan impor pada sektor-sektor strategis.

Belum lagi kerusakan hutan yang masif akibat meluasnya industri ekstraktif yang berujung pada bencana alam rutin setiap tahun seperti banjir bandang, banjir rob, dan tanah longsor yang banyak memakan korban jiwa dan kerusakan infrastruktur dan fasilitas umum dengan nilai triliunan rupiah setiap tahun.

Dari sisi global, ekonomi dunia menunjukkan tren perlambatan. Lembagalembaga internasional memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global berada di bawah 3 persen hingga 2026, dipengaruhi oleh suku bunga tinggi yang berkepanjangan, konflik geopolitik, dan fragmentasi perdagangan internasional.

Tekanan ini berdampak langsung pada negara berkembang seperti Indonesia melalui volatilitas nilai tukar, arus modal yang fluktuatif, serta pelemahan permintaan ekspor nonmigas.

Secara nasional, tantangan internal juga semakin nyata. Rasio incremental capital output ratio (ICOR) Indonesia masih relatif tinggi (6-6,5 persen), mencerminkan efisiensi investasi yang belum optimal.

Kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB masih berada di kisaran 18–19 persen, belum kembali ke level ideal sebagai motor utama penciptaan lapangan kerja. Di sisi lain, jumlah UMKM dan koperasi yang mencapai lebih dari 98 persen unit usaha nasional belum sepenuhnya terintegrasi ke dalam rantai nilai industri dan BUMN.

Memasuki tahun 2026, berbagai proyeksi menunjukkan bahwa Indonesia masih berpeluang tumbuh di kisaran 5,1–5,3 persen. Namun, proyeksi pertumbuhan itu bisa meleset di bawah 5 persen jika gagal menemukan strategi yang tepat dan efektif dalam penguatan ekonomi domestik dan kebijakan afirmatif terhadap sektor produktif serta diplomasi perdagangan internasional.

Jika hal itu terjadi, tentu target Pemerintah mencapai pertumbuhan 8 persen tahun 2028 menjadi sulit tercapai. Target pertumbuhan ekonomi di atas 8 persen sangat penting untuk menjadi negara maju dengan mengoptimalkan bonus demografi menuju Indonesia Emas 2045.

Oleh karena itu, momentum 2026 harus bisa dimanfaatkan bukan sekadar menjaga stabilitas, tetapi sebagai titik balik membangun ekonomi nasional yang berdaulat, berkeadilan, dan berakar kuat pada nilai Ekonomi Pancasila dengan Konstitusi Pasal 33 dan 34 sebagai sistem dan patokan dasar.

Di jalan ideologiskonstitusional itulah, Pemerintahan Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka memperkuat pondasi Indonesia Emas 2045 yang kuat, mandiri, dan maju.

Ekonomi Pancasila berdasarkan Konstitusi Pasal 33 UUD 1945 sesungguhnya adalah modal utama dan kekuatan jatidiri Indonesia yang pluralistik dan kaya sumber daya alam.

Dan, kita bersyukur bahwa sejak awal dan Presiden Prabowo Subianto menegaskan bahwa Visi Besar Asta Cita akan dijalankan dan diwujudkan dengan berpedoman pada Ekonomi Pancasila dengan Pasal 33 UUD 1945 sebagai patokan dasar.

Setidaknya, ada 4 strategi besar dan langkah progresif revolusioner yang dilakukan Presiden Prabowo terkait dengan implementasi Pasal 33

Pertama, mendirikan dan menggerakkan Koperasi Merah Putih sebagai sistem dasar ekonomi RI: ‘Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan’ (Pasal 33 Ayat 1).

Dalam hal ini, 82 ribu Koperasi Merah Putih dirancang sebagai sistem ‘kapitalisme rakyat’ seperti di negara-negara kapitalis yang koperasinya justru maju pesat.

Di sana, banyak warga negara yang mengandalkan koperasi sebagai wadah usaha bersama. Jadi, kapitalisme (korporasi berbasis modal) berjalan beriringan dengan kapitalisme rakyat (koperasi berbasis orang/anggota).

Kedua, melahirkan Danantara sebagai superholding seluruh perusahaan BUMN (Pasal 33 Ayat 2). Ini model ‘kapitalisme negara’seperti di Cina dalam mengelola aset strategis, namun dengan pendekatan Indonesia.

Danantara mengusung misi besar: peningkatan peran dan kontribusi BUMN dalam membangun infrastruktur dan mewujudkan visi kemandirian Bangsa dalam bidang ketahanan pangan, energi, air, ekonomi hijau, ekonomi biru, serta bersama Koperasi Merah Putih memberdayakan rakyat kecil dan membangun dari daerah pinggiran.

Ketiga, perluasan hilirisasi sumber daya alam (Pasal 33 Ayat 3). Jika era Jokowi, hanya terfokus pada 12 komoditi unggul di sektor pertambangan dan perkebunan, di era Prabowo hilirisasi diperluas hingga 28 komoditi di berbagai sektor pertanian, perikanan, peternakan, hingga ekonomi kreatif.

Dengan hilirisasi atau industrialisasi yang lebih masif, nilai tambah kekayaan alam kita bisa meningkat berkali-kali lipat sekaligus membuka lapangan kerja yang luas.

Keempat, kolaborasi yang kuat antara dua pelaku ekonomi utama yang diperintahkan Konsitusi Pasal 33, yaitu Koperasi Merah Putih dan Danantara sebagai ‘induk’ dari seluruh BUMN.

Contoh paling nyata, misalnya, penyaluran Dana APBN untuk Koperasi Merah Putih melalui bank-bank BUMN (Himbara).

Lalu, pembangunan gerai di 82 ribu desa dan kelurahan diserahkan kepada BUMN Agrinas Pangan Nusantara bekerjasama dengan TNI.

Jika keempat strategi makro di atas bisa diterapkan secara terencana, terukur, efektif dan didukung tata kelola yang baik, niscaya Visi Asta Cita Pemerintah akan terwujud.

Dan, momentum tahun 2026, harus bisa dijadikan sebagai tahun konsolidasi menyeluruh (gagasan, sistem, kelembagaan, strategi impementasi, dan sistem evaluasi). Tahun 2027 menjadi periode pemantaban dan percepatan.

Ekonomi Pancasila sebagai Jalan Membangun Bangsa

Ekonomi Pancasila sebagai ideologi sosial ekonomi NKRI bukanlah konsep lama yang usang, melainkan ideologi sosial ekonomi NKRI yang relevan sepanjang zaman.

Ekonomi Pancasila bergerak di atas rel Konstitusi UUD 1945. Pasal 33 UUD 1945 secara tegas menempatkan perekonomian nasional sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan, dengan negara memegang perana strategis dalam menguasai cabang-cabang produksi yang penting bagi hajat hidup orang banyak, serta kekayaan alam dikuasai negara dan dikelola untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Prinsip ini menegaskan bahwa ekonomi Indonesia tidak boleh diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar bebas. TAP MPR No. XVI/MPR/1998 memperkuat arah pembangunan ekonomi nasional yang berkeadilan, berkelanjutan, dan berdaulat.

Ekonomi Pancasila menolak praktik ekonomi yang eksploitatif, oligarkis, dan menyingkirkan rakyat kecil dari akses terhadap sumber daya ekonomi. Sebaliknya, ekonomi harus menjadi instrumen pemerataan dan pemberdayaan.

Dalam pandangan Ekonomi Pancasila, pertumbuhan ekonomi harus berjalan seiring dengan pemerataan. Tidak boleh ada pertumbuhan yang hanya dinikmati oleh segelintir kelompok, sementara mayoritas rakyat tertinggal.

Oleh karena itu koperasi, UMKM, dan ekonomi rakyat harus ditempatkan sebagai pilar utama, bukan pelengkap dalam sistem ekonomi nasional.

Negara, melalui BUMN dan kebijakan publik, memiliki peran strategis sebagai penggerak dan penyeimbang pasar. BUMN tidak semata-mata dituntut mengejar keuntungan, tetapi juga menjalankan mandat konstitusional untuk menghadirkan keadilan ekonomi, menjaga stabilitas harga, dan memperluas akses layanan dasar bagi masyarakat.

Ekonomi Pancasila juga menuntut penguasaan negara atas sumber daya alam secara bertanggung jawab. Kekayaan alam Indonesia harus diolah di dalam negeri untuk menciptakan nilai tambah, lapangan kerja, dan kesejahteraan rakyat, bukan diekspor mentah demi kepentingan jangka pendek.

Prinsip keberlanjutan menjadi elemen penting dalam Ekonomi Pancasila. Pembangunan ekonomi tidak boleh mengorbankan lingkungan hidup dan generasi masa depan.

Keadilan antargenerasi harus menjadi bagian integral dari perencanaan ekonomi nasional.

Dalam kerangka ini, industrialisasi nasional harus diarahkan pada penguatan industri berbasis sumber daya domestik, teknologi, dan inovasi.

Ketergantungan pada impor harus dikurangi secara sistematis melalui kebijakan yang berpihak pada industri nasional.

Ekonomi Pancasila juga menempatkan manusia sebagai subjek utama pembangunan.

Tenaga kerja bukan sekadar faktor produksi, melainkan aset bangsa yang harus dilindungi, ditingkatkan kapasitasnya, dan dijamin kesejahteraannya.

Di tengah arus globalisasi, Ekonomi Pancasila bukan berarti menutup diri dari dunia internasional. Kerja sama global tetap penting, namun harus didasarkan pada prinsip kesetaraan, saling menguntungkan, dan menjaga kepentingan nasional.

Dengan demikian, Ekonomi Pancasila adalah jalan tengah yang berakar pada nilai kebangsaan, berpijak pada konstitusi, dan relevan untuk menjawab tantangan ekonomi modern.

Rekomendasi Konkret Tahun 2026

Untuk mewujudkan kebangkitan Ekonomi Pancasila tahun 2026, ada beberapa rekomendasi strategis yang perlu diperhatikan.

Pertama, penguatan peran negara melalui BUMN harus didasarkan pada fakta bahwa BUMN menguasai sektor-sektor strategis dengan total aset mencapai lebih dari Rp10.000 triliun dan kontribusi signifikan terhadap penerimaan negara.

Tahun 2026 perlu diarahkan agar BUMN tidak hanya menjadi entitas bisnis, tetapi motor stabilisasi harga pangan, energi, dan logistik nasional, terutama dalam menghadapi volatilitas global.

Kedua, penguatan koperasi dan UMKM menjadi keharusan strategis. Data menunjukkan UMKM menyerap sekitar 97 persen tenaga kerja nasional, namun kontribusinya terhadap PDB baru sekitar 61 persen.

Tahun 2026 harus menjadi fase konsolidasi, di mana pembiayaan murah, integrasi dengan BUMN, serta digitalisasi koperasi diarahkan untuk meningkatkan produktivitas, bukan sekadar menambah jumlah unit usaha.

Ketiga, hilirisasi industri perlu diperluas dan diperdalam. Pengalaman sektor pertambangan menunjukkan bahwa hilirisasi mampu meningkatkan nilai ekspor dan penerimaan negara secara signifikan.

Namun ke depan, hilirisasi harus diperluas ke sektor pertanian, perikanan, dan industri berbasis rakyat agar dampaknya terhadap penciptaan lapangan kerja lebih merata dan inklusif.

Keempat, kebijakan perdagangan dan industri harus lebih protektif dan selektif. Ketergantungan impor bahan pangan strategis dan produk manufaktur tertentu masih tinggi, sehingga rentan terhadap gejolak global.

Tahun 2026 perlu menjadi momentum memperkuat substitusi impor berbasis produksi dalam negeri, dengan perlindungan terukur terhadap industri nasional dan petani lokal.

Kelima, pemerataan pembangunan wilayah harus dipercepat. Data menunjukkan lebih dari 55 persen aktivitas ekonomi nasional masih terkonsentrasi di Pulau Jawa.

Kebijakan fiskal, investasi BUMN, dan pengembangan kawasan industri di luar Jawa perlu diperkuat agar pertumbuhan ekonomi nasional lebih seimbang dan berkeadilan.

Keenam, penguatan tata kelola ekonomi menjadi fondasi utama. Efektivitas belanja negara, efisiensi investasi, serta pemberantasan praktik ekonomi yang merugikan negara harus menjadi prioritas.

Tanpa tata kelola yang kuat, target pertumbuhan ekonomi 2026 berisiko tidak berdampak langsung pada peningkatan kesejahteraan rakyat.(*)

 

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.