Dinas Publik dan Demokrasi yang Terluka
Firdaus Arifin February 25, 2025 04:20 PM
Dalam hening yang sering kali berisik oleh birokrasi, ada sesuatu yang selalu gagal dipahami oleh para pengelola negara: dinas publik bukan sekadar mesin administratif. Ia adalah wajah konkret dari demokrasi. Seharusnya. Namun, seperti banyak hal di negeri ini, idealisme sering kali ditinggalkan di meja perundingan, digantikan oleh pragmatisme yang cenderung muram.
Mari kita bicara tentang hal yang remeh, sesuatu yang luput dari pidato-pidato para pejabat: seberapa sulitnya bagi seorang warga biasa untuk mengurus KTP, akta kelahiran, izin usaha, atau bahkan sekadar meminta transparansi anggaran desa. Seorang ibu yang membawa bayinya ke rumah sakit daerah harus berhadapan dengan antrean yang panjang, tatapan sinis dari petugas, dan berlapis-lapis birokrasi yang tampaknya lebih gemar menghalangi daripada melayani.
Mungkin ini bukan cerita baru. Tapi seperti kebanyakan luka dalam tubuh bangsa ini, yang lama-lama dianggap normal, kita semakin jarang bertanya: mengapa demikian?
Antara Kuasa dan Kepentingan
Dinas publik adalah representasi konkret dari negara. Di sinilah negara bertatap muka dengan warganya, bukan dalam makna abstrak konstitusi atau undang-undang, tetapi dalam wujud nyata: loket pelayanan, para pegawai berseragam, dan sistem yang semestinya bekerja untuk rakyat. Tapi sebaliknya, kita sering menemukan ironi: negara yang seharusnya hadir untuk melayani malah menuntut warga untuk tunduk padanya.
Dalam filsafat administrasi negara, birokrasi seharusnya menjadi alat yang memudahkan hidup warga, bukan sebaliknya. Max Weber, dengan pesimisme yang khas, telah lama menulis bahwa birokrasi modern memang cenderung menciptakan “sangkar besi”—sistem yang begitu terstruktur dan kaku hingga manusia yang mengoperasikannya kehilangan jiwa. Maka tidak heran, seorang pegawai dinas publik yang seharusnya membantu malah lebih sibuk dengan aturan teknis ketimbang memahami esensi dari tugasnya: mengabdi kepada publik.
Di banyak negara yang demokrasinya sehat, dinas publik adalah salah satu indikator utama keberhasilan negara. Di Skandinavia, misalnya, pelayanan publik tidak hanya cepat dan transparan, tetapi juga berbasis pada kepercayaan: pegawai negeri adalah abdi negara, bukan penguasa kecil yang menunggu amplop. Di Indonesia, sebaliknya, ada semacam perasaan superioritas dalam birokrasi. Seorang pegawai dinas sering merasa lebih tinggi kedudukannya dibanding warga yang datang untuk mengurus sesuatu, seakan-akan ia sedang memberikan “jasa pribadi” alih-alih menjalankan tugas konstitusional.
Inilah yang membuat kita sulit berharap banyak. Di balik meja-meja itu, ada sisa-sisa feodalisme yang tetap hidup, meski republik ini sudah berdiri lebih dari tujuh dekade.
Korupsi Kecil, Dampak Besar
Masalah dinas publik di Indonesia bukan sekadar lambannya birokrasi, tetapi juga soal moral. Kita hidup dalam sistem di mana “uang rokok” dianggap wajar, di mana mempercepat antrean dengan imbalan tertentu tidak lagi disebut suap, tetapi “sekadar terima kasih.” Di setiap level pelayanan, dari yang paling rendah hingga paling tinggi, korupsi kecil telah menjadi bagian dari ekosistem.
Tetapi, apakah kita hanya bisa menyalahkan pegawai-pegawai negeri itu? Tidak juga. Sistem yang buruk akan membentuk individu yang buruk. Gaji rendah, tekanan dari atasan, dan budaya administratif yang lebih mengutamakan kepatuhan daripada inovasi menciptakan kondisi di mana pegawai birokrasi lebih sibuk bertahan hidup daripada berpikir tentang pelayanan.
Di sinilah letak ironinya. Negara yang menginginkan birokrasi profesional justru membiarkan sistem yang membunuh profesionalisme itu sendiri. Akhirnya, dinas publik bukan lagi tempat di mana rakyat merasa dilayani, tetapi sekadar labirin yang harus dilalui dengan berbagai cara, termasuk cara yang tidak selalu bersih.
Reformasi yang Mandek
Setiap pemerintahan berbicara tentang reformasi birokrasi. Slogan itu sudah tua, bahkan sudah hampir kehilangan maknanya. Ada pemangkasan prosedur, digitalisasi layanan, dan berbagai program lain yang diklaim sebagai pembaruan. Tapi apakah kita benar-benar merasa ada perubahan?
Mungkin di beberapa sektor ada kemajuan. Tapi secara umum, dinas publik tetap menjadi tempat di mana rakyat lebih sering merasa frustrasi ketimbang puas. Digitalisasi, misalnya, sering hanya berarti memindahkan antrian dari kantor ke layar gawai, tanpa benar-benar mengubah esensi pelayanannya. Website layanan publik yang sering down, sistem online yang tetap mengharuskan kedatangan fisik ke kantor, hingga alur administrasi yang tetap berbelit hanya menunjukkan bahwa reformasi birokrasi lebih banyak terjadi di atas kertas daripada di dunia nyata.
Di banyak daerah, kepala dinas masih diangkat bukan karena kompetensi, tetapi karena kedekatan politik. Loyalitas lebih penting daripada kapabilitas. Maka, jangan heran jika seorang kepala dinas yang seharusnya mengurus pendidikan malah lebih sibuk mengamankan proyek pengadaan buku atau infrastruktur sekolah yang anggarannya bisa dinegosiasikan.
Jalan Keluar
Namun, selalu ada cara untuk keluar dari situasi ini, meski jalannya panjang dan berliku. Ada beberapa langkah yang bisa menjadi titik tolak yaitu; Pertama, merombak budaya birokrasi. Pelayanan publik bukan hanya soal prosedur, tetapi soal mentalitas. Pegawai negeri harus dilatih untuk berpikir bahwa mereka adalah pelayan rakyat, bukan penguasa kecil yang bisa bersikap sewenang-wenang. Kedua, meningkatkan transparansi dan akuntabilitas. Setiap dinas publik seharusnya memiliki mekanisme pengaduan yang benar-benar berfungsi.
Setiap layanan harus bisa diaudit oleh publik, bukan hanya oleh lembaga pengawas internal yang sering kali tak lebih dari sekadar formalitas. Ketiga, memperbaiki kesejahteraan pegawai. Gaji yang layak dan lingkungan kerja yang sehat akan mengurangi insentif untuk melakukan pungli. Reformasi birokrasi tidak bisa berjalan jika para pelaksananya tetap hidup dalam tekanan ekonomi. Keempat, mengurangi ketergantungan pada sistem manual. Digitalisasi layanan harus lebih dari sekadar formalitas. Negara harus memastikan bahwa setiap warga bisa mengakses layanan secara mudah, cepat, dan tanpa interaksi yang membuka peluang korupsi.
Dan terakhir kelima, menegakkan hukum tanpa pandang bulu. Korupsi dalam pelayanan publik, sekecil apa pun, harus ditindak. Tidak boleh ada kompromi. Jika ini bisa diterapkan, lama-kelamaan budaya birokrasi yang buruk akan terkikis.
Epilog
Di masa depan, mungkin kita bisa membayangkan sebuah Indonesia di mana dinas publik bukan lagi sumber keluhan, tetapi kebanggaan. Sebuah negara di mana mengurus dokumen bukan lagi perkara melelahkan, di mana rumah sakit daerah bisa melayani tanpa birokrasi yang mencekik, dan di mana pegawai negeri benar-benar menjadi pelayan masyarakat.
Tetapi untuk sampai ke sana, kita perlu lebih dari sekadar slogan reformasi. Kita perlu kesadaran bahwa pelayanan publik adalah napas demokrasi. Jika dinas publik terus bobrok, demokrasi tidak akan pernah benar-benar hidup.
Maka, mungkin pertanyaannya bukan lagi “kapan kita akan berubah?”, tetapi “sampai kapan kita akan bertahan dalam kebobrokan ini?”
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.