Bukan Sekadar Kata: Bagaimana Ucapan Membentuk Citra Seorang Public Figure
Rafli Fadlian April 23, 2025 12:01 PM
Menjadi public figure berarti menjadi pusat perhatian. Setiap gerak-gerik diperhatikan, setiap keputusan dinilai, dan setiap kata yang terucap bisa menjadi berita. Di tengah masyarakat yang semakin kritis dan responsif, ucapan seorang public figure bukan lagi sekadar penyampaian pendapat ia adalah gambaran langsung dari siapa mereka di mata publik. Ucapan bisa memperkuat atau dapat menjadi boomerang. Satu kalimat inspiratif mampu menggerakkan ribuan orang, tapi satu kata yang salah bisa menimbulkan kontroversi besar. Public figure, sadar atau tidak, hidup dalam dunia yang membingkai setiap kata mereka sebagai cerminan dari karakter, kredibilitas, dan kepemimpinan.
Public Speaking dan Media Sosial: Panggung Ganda
Public figure hari ini hidup dalam dua dunia sekaligus: dunia nyata dan dunia digital. Di atas panggung formal seperti konferensi pers, seminar, atau wawancara televisi, setiap kata telah dipersiapkan dengan matang. Ucapan yang keluar biasanya sudah melewati penyuntingan, penuh perhitungan, dan menyasar audiens tertentu. Namun, di media sosial menghadirkan panggung yang sangat berbeda. Komunikasi di sini lebih cepat, lebih spontan, dan lebih personal. Apa yang diucapkan bisa langsung diterima oleh ribuan, bahkan jutaan orang hanya dalam hitungan detik. Public figure yang mampu memanfaatkan media sosial dengan cerdas bisa membangun kedekatan emosional dengan audiensnya sesuatu yang tidak selalu bisa dicapai di ruang formal. Tetapi di sisi lain, sedikit saja kesalahan dalam memilih kata, bisa menimbulkan reaksi negatif yang masif. Dua panggung ini pada akhirnya saling melengkapi. Penampilan formal bisa membentuk kesan otoritatif, sementara media sosial menciptakan kesan manusiawi. Namun keduanya harus dijaga agar tetap konsisten. Tokoh yang tenang dan bijak saat berpidato, namun kasar atau sembrono saat bercuit di Twitter, akan dinilai tidak autentik.
Era Digital: Kata-Kata Tak Lagi Hilang
Di tengah sorotan publik yang semakin intens, seorang public figure tak lagi dinilai hanya dari pencapaian atau penampilannya. Kata-kata bukan lagi sekadar alat komunikasi, melainkan cermin yang memperlihatkan karakter, nilai, dan bahkan integritas seseorang. Di masa lalu, ucapan bisa hilang seiring waktu. Tapi hari ini, satu pernyataan bisa direkam, diunggah, dibagikan, dan dibahas berulang-ulang. Dunia digital membuat semua kata memiliki umur panjang. Bahkan ucapan bertahun-tahun lalu bisa kembali viral dan berdampak pada citra seseorang saat ini. Media sosial memberi ruang bagi public figure untuk berbicara langsung dengan publik tanpa perantara. Ini menjadi peluang untuk memperkuat citra positif, tapi juga risiko besar jika digunakan tanpa pertimbangan matang.
Ucapan Adalah Identitas
Banyak orang mengenal tokoh publik bukan karena mereka pernah bertemu secara langsung, melainkan dari apa yang mereka dengar dan baca. Dengan kata lain, ucapan menjadi identitas yang dikenal lebih dulu dibanding kepribadian asli mereka. Ucapan yang jujur, berisi, dan membumi sering kali menumbuhkan simpati. Sedangkan pernyataan yang terkesan sombong, sinis, atau tidak sensitif justru menimbulkan jarak dan ketidakpercayaan.
Kesimpulan
Menjadi public figure berarti hidup di bawah sorotan. Setiap kata yang terucap memiliki potensi besar untuk membentuk opini, membangun pengaruh, atau bahkan memecah kepercayaan. Ucapan bukan lagi sekadar alat komunikasi, tapi fondasi citra yang dapat menentukan keberlangsungan karier dan kepercayaan publik. Karena itu, bagi seorang public figure, berbicara bukan hanya tentang menyampaikan pesan, tetapi juga tentang menjaga nama baiknya. maka dari itu, pentingnya menjaga lisan bagi seorang public figure bukan hanya untuk menjaga citra yang baik, tetapi menjadi contoh positif dan insipiratif bagi para penggemar.
Rafli Fadlian Maulana, mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Pamulang