Marka/Matriks: Kode Politik dalam Tinta, dari Orde Baru hingga Era AI
Hidayat Adhiningrat April 24, 2025 03:46 AM
Pada dinding putih bersih Galeri Salihara, dalam pameran Marka/Matriks, dua karya grafis Cecil Mariani bertengger. Karya-karya ini, yang memadukan teknologi modern dengan teknik seni tradisional, membuka jendela ke dunia imajinasi yang kaya akan simbolisme dan spiritualitas. Karya pertama, Distant Shaman Kins (2024), memukau dengan komposisi yang memikat dan latar dominan hitam pekat. Di tengahnya, sebuah figur manusia berdiri dengan wajah anak kecil yang lembut namun misterius, dikelilingi oleh hiasan bulu dan seekor burung hitam besar yang bertengger di kepalanya.
Burung ini seolah menjadi penjaga atau perantara spiritual, melambangkan hubungan mendalam dengan alam gaib. Pakaian figur tersebut dihiasi pola rumit yang menyerupai sulaman tradisional. Di bagian bawah, refleksi atau bayangan figur yang terbalik, disertai burung lain yang tampak melayang, menciptakan ilusi optik dan menambah aura magis.
Dibuat dengan gum oil di atas papan katun Hahnemuhle berukuran 120 x 80 cm, karya grafis ini memancarkan pesona yang dihasilkan dari kolaborasi dengan artificial intelligence. Akal imitasi (AI) itu dimanfaatkan untuk membentuk figur yang kemudian disempurnakan melalui software edit gambar dan dicetak dengan teknik grafis alugraphy.
Dua karya grafis Cecil Marian di pameran Marka/Matriks (Dok. Hidayat Adhiningrat)
zoom-in-whitePerbesar
Dua karya grafis Cecil Marian di pameran Marka/Matriks (Dok. Hidayat Adhiningrat)
Di sebelahnya, Dragons Praying to be Dove 4: Earth - Malkuth (2023) menghadirkan narasi visual yang sama memesonanya. Karya ini menggambarkan seorang wanita dengan wajah tenang dan rambut panjang yang mengalir, berdiri dengan anggun. Seekor burung putih yang anggun bertengger di bahunya, melambangkan kedamaian atau transformasi spiritual.
Di depannya, spiral-simbol geometris berwarna lembut—kombinasi orange dan putih—melayang, menyerupai matahari atau portal kosmik yang membuka dimensi lain. Di tangannya, ia memegang sebuah kubus transparan yang memantulkan cahaya, menambah elemen mistis pada komposisi.
Sentuhan warna ungu dan merah muda yang menyerupai asap atau bulu menjuntai di sisi kanan, menciptakan kontras yang hidup terhadap latar belakang gelap. Karya ini, yang menggabungkan gum oil, cetak saring, dan akrilik di atas papan katun Hahnemuhle dengan ukuran serupa, juga memanfaatkan artificial intelligence dalam pembentukan figur dan proses pasca-produksi yang sama.
Komunitas Salihara menyambut tahun 2025 dengan pameran perdana bertajuk Marka/Matriks, yang akan berlangsung selama satu bulan (19 April-18 Mei 2025). Menghadirkan 30 seniman lokal dan internasional, pameran ini memamerkan lebih dari 105 karya yang mengeksplorasi beragam teknik cetak grafis—mulai dari metode tradisional seperti cukil kayu, etsa, dan litografi, hingga inovasi digital berbasis fotografi, kecerdasan artifisial, dan teknologi mutakhir.
Seni cetak grafis kontemporer dalam pameran ini tidak hanya menampilkan proses mencetak gambar pada medium tertentu, tetapi juga membuka ruang eksperimen, dialog, dan kolaborasi lintas disiplin. Batas-batas medium pun kian kabur: teknik klasik seperti sablon atau cukil kayu berdampingan dengan karya digital yang revolusioner, menunjukkan bagaimana seni cetak telah berevolusi menjadi bahasa baru dalam berekspresi dan berpikir kreatif.
Pameran Marka/Matriks di Komunitas Salihara (Dok. Salihara/Witjak Widhi Cahya)
zoom-in-whitePerbesar
Pameran Marka/Matriks di Komunitas Salihara (Dok. Salihara/Witjak Widhi Cahya)
Marka/Matriks menekankan keragaman eksplorasi seniman. Tak hanya mengandalkan metode konvensional, peserta pameran juga menggunakan bahan alternatif dan alat tidak biasa, menciptakan karya yang mengaburkan garis antara tradisi dan inovasi. Misalnya, beberapa seniman mengolah citra digital dengan pendekatan surealis, sementara lainnya menghidupkan teknik etsa abad ke-19 melalui sentuhan narasi kontemporer.
Karya cetak grafis berjudul Ternak Etsa karya Tisna Sanjaya muncul sebagai wujud nyata dari perpaduan tersebut. Dibuat pada tahun 2025 dengan teknik etsa dan aquatint di atas kertas Hahnemühle berukuran 50 x 50 cm, karya ini terdiri dari empat panel yang disusun dalam bingkai persegi dengan pinggiran emas yang elegan, menampilkan komposisi visual yang kaya dan penuh makna.
Secara visual, Ternak Etsa didominasi oleh figur sentral yang unik: seorang manusia dengan anggota tubuh berlipat ganda, berdiri tegak di atas makhluk yang menyerupai ular atau naga yang meliuk-liuk. Figur ini dikelilingi elemen-elemen surealis yang mencolok, seperti tengkorak yang tampak mengambang di udara, pola organik yang menyerupai vegetasi liar, dan tulisan tangan dengan frasa “makan siang gratis”. Komposisi ini memadukan detail halus khas teknik etsa abad ke-19 dengan pendekatan modern yang tajam, menciptakan dialog visual antara masa lalu dan masa kini.
Warna menjadi elemen kunci. Setiap panel menampilkan palet yang berbeda—putih, kuning, merah, dan hijau—yang bukan sekadar estetika, tetapi juga sarat simbolisme politik. Warna-warna selain putih ini merujuk pada identitas partai politik pada masa Orde Baru di Indonesia. Kuning secara jelas mengacu pada Golkar, partai penguasa yang mendominasi era tersebut, sementara merah dan hijau dapat diinterpretasikan sebagai representasi ideologi lain yang bersaing atau terpinggirkan dalam dinamika kekuasaan waktu itu.
Karya grafis Tisna Sanjaya “Ternak Etsa” di Pameran Marka/Matriks (Dok. Hidayat Adhiningrat)
zoom-in-whitePerbesar
Karya grafis Tisna Sanjaya “Ternak Etsa” di Pameran Marka/Matriks (Dok. Hidayat Adhiningrat)
Penggunaan warna-warna ini menghidupkan kembali memori kolektif tentang era Orde Baru, sekaligus mengaitkannya dengan refleksi kritis terhadap politik kontemporer. Frasa “makan siang gratis” yang muncul dalam karya pun tidak terasa sekadar detail acak.
Dalam konteks politik saat ini di Indonesia, frasa ini dapat dibaca sebagai sindiran pedas terhadap janji-janji populis yang sering digaungkan oleh politisi untuk memikat publik. Program bantuan sosial, seperti distribusi makanan gratis atau jaminan kesejahteraan, kerap menjadi alat kampanye yang menggiurkan namun sering kali dipertanyakan keberlanjutan dan kejujurannya.
Secara teknis, Ternak Etsa memadukan keahlian tradisional dengan sentuhan inovatif. Teknik etsa dan aquatint, yang berakar pada seni cetak grafis abad ke-19, dieksekusi dengan presisi pada kertas Hahnemühle, menghasilkan tekstur dan kedalaman yang memukau. Dalam kerangka pameran “Marka/Matriks,” Ternak Etsa menegaskan bagaimana seniman mampu menghidupkan teknik lama dengan narasi yang relevan bagi zaman sekarang.
Tisna Sanjaya tidak hanya menampilkan kebolehan teknis, tetapi juga menggunakan seni cetak grafis sebagai medium kritik sosial yang tajam. Karya ini mengaburkan garis antara tradisi dan inovasi, sekaligus menjadi cermin bagi perubahan politik dan budaya di Indonesia—dari simbolisme Orde Baru hingga skeptisisme terhadap janji politik masa kini.
Pengunjung di depan karya Adi Sundoro “Pasal Karet” (Dok. Komunitas Salihara/Witjak Widhi Cahya)
zoom-in-whitePerbesar
Pengunjung di depan karya Adi Sundoro “Pasal Karet” (Dok. Komunitas Salihara/Witjak Widhi Cahya)
Karya grafis Pasal Karet oleh Adi Sundoro juga bisa menjadi contoh menonjol selain karya Tisna. Dengan memanfaatkan lap PVA (kanebo)—bahan yang biasanya digunakan untuk membersihkan—sebagai media cetak saring, Adi Sundoro menantang norma material seni grafis konvensional dan menciptakan tekstur serta makna baru melalui tinta vinyl. Karya ini juga mengandung elemen interaktif di mana pengunjung diajak merendam kain kaku ke dalam air hingga lentur.
Tindakan tersebut semakin memperkuat inovasi ini, mengaburkan batas antara karya, seniman, dan penonton. Karya ini tidak hanya menghidupkan kembali teknik cetak saring tradisional, tetapi juga menyematkan narasi kontemporer yang relevan, khususnya dalam konteks politik dan hukum saat ini, di mana fleksibilitas menjadi simbol adaptasi terhadap tantangan zaman.
Karya ini terdiri dari 24 edisi reguler dan tiga edisi khusus—dan dipajang menjadi instalasi dalam ukuran raksasa 380 x 225 cm. Lembaran-lembaran kain berwarna kuning pucat itu digantung rapi di tali dengan klip biru, menyerupai jemuran sederhana yang biasa kita lihat di halaman rumah.
Secara visual, Pasal Karet memukau dengan komposisi yang repetitif namun penuh simbol. Setiap lembar kain dihiasi pola garis vertikal dan horizontal yang menyerupai jeruji besi—lambang yang tak asing lagi dalam dunia hukum, mengingatkan kita pada penjara dan keterkungkungan. Di beberapa lembar, simbol-simbol lain muncul: palu keadilan, pedang, atau bahkan figur manusia yang samar.
Elemen-elemen ini tidak hanya memperkuat narasi, tetapi juga menciptakan kesan tegas sekaligus usang—seperti pasal-pasal hukum yang telah lama ada, namun tetap bermasalah hingga kini. Pencahayaan lembut di ruangan menambah efek dramatis, dengan bayangan kain yang terpantul di dinding, seolah karya ini hidup dan berdialog dengan ruang.
Keunikan Pasal Karet tidak berhenti pada estetikanya. Di samping instalasi, sebuah meja berukuran 80 x 44 x 75 cm berdiri sebagai pusat interaksi. Pengunjung diperbolehkan mengambil salah satu lembar kain yang telah kering dan kaku, lalu mencelupkannya ke dalam air. Dalam sekejap, tekstur kain berubah—dari kaku menjadi lentur dan fleksibel.
Proses ini bukan sekadar gimmick, melainkan inti dari pesan yang ingin disampaikan seniman. Ini adalah metafora: pasal-pasal hukum yang sering disebut “karet”—karena sifatnya yang ambigu dan mudah dimanipulasi—dapat diubah menjadi lebih lentur, lebih manusiawi, jika ada kemauan untuk “melunakkannya” melalui refleksi dan tindakan bijaksana.
Karya Adi Sundoro “Pasal Karet” di pameran Marka/Matriks (Dok. Hidayat Adhiningrat)
zoom-in-whitePerbesar
Karya Adi Sundoro “Pasal Karet” di pameran Marka/Matriks (Dok. Hidayat Adhiningrat)
Judul Pasal Karet sendiri merujuk pada istilah populer dalam wacana hukum, khususnya di Indonesia, yang menggambarkan pasal-pasal dengan definisi longgar yang memungkinkan penafsiran subjektif. Sindiran Adi Sundoro terasa halus namun mengena. Dengan mengubah kain kaku menjadi lentur, ia seolah berkata bahwa hukum yang kini terasa membelenggu dan tidak responsif bisa direformasi menjadi lebih adil dan fleksibel. Jeruji besi dalam visualnya memperkuat kritik terhadap sistem hukum yang kerap membatasi kebebasan, sementara transformasi kain menjadi simbol harapan akan perubahan.
Makna Pasal Karet sangat relevan dengan keadaan politik kontemporer, baik di Indonesia maupun dunia. Di tahun 2025, dinamika politik global dan lokal semakin kompleks, dengan hukum sering kali menjadi alat kekuasaan. Banyak negara, termasuk Indonesia, masih bergulat dengan pasal-pasal “karet” yang ambigu, seperti yang terdapat dalam undang-undang tertentu, yang memungkinkan penyalahgunaan untuk membungkam kritik atau menargetkan kelompok tertentu.
Karya ini mencerminkan frustasi masyarakat terhadap sistem hukum yang kaku dan manipulatif, sekaligus menawarkan secercah optimisme: bahwa dengan keterlibatan aktif—seperti yang digambarkan melalui interaksi pengunjung—hukum bisa dibentuk ulang menjadi lebih manusiawi.
Dalam pernyataan kuratorialnya, Asikin Hasan, Kurator Galeri Komunitas Salihara, menjelaskan bahwa pameran ini dirancang sebagai platform untuk merespon dinamika seni cetak Asia Tenggara. "Karya-karya di sini menunjukkan bagaimana proses cetak bisa melampaui fungsi tradisionalnya. Ia menjadi medium untuk merefleksikan isu kekinian—mulai dari identitas, lingkungan, hingga dampak teknologi," ujarnya.
Hasan menambahkan, "Seniman tak hanya mengulang teknik yang ada, tetapi berani menciptakan 'bahasa' baru. Misalnya, memadukan algoritma AI dengan tekstur kayu tradisional atau mengolah limbah industri sebagai bahan cetak. Inilah yang membuat Marka/Matriks bukan sekadar pameran, melainkan ruang percakapan tentang masa depan seni cetak."
Pameran ini diharapkan menjadi titik temu bagi seniman, pengamat seni, dan publik untuk menelisik potensi tak terbatas dari seni grafis—sebuah medium yang terus bertransformasi, merangkul masa sembari berdialog dengan masa lalu.
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.