TRIBUNNEWS.com - Komandan Perlindungan Masyarakat (Linmas) Kelurahan Setabelan, Kecamatan Banjarsari, Kota Solo, Jawa Tengah, Paryanto, mengungkapkan keluarga Bos Sritex, Iwan Setiawan Lukminto, sangat tertutup.
Paryanto mengakui, saking tertutupnya Iwan dan keluarganya, ia dan staf kelurahan setempat kesulitan untuk bertemu.
Bahkan, menurut Paryanto, mendekati rumah Iwan saja ia tak bisa.
Sebab, kata Paryanto, rumah Iwan selalu dijaga ketat oleh aparat keamanan.
Meski tak tahu apakah aparat keamanan itu anggota TNI atau Polri, Paryanto memastikan satpam yang menjaga rumah Iwan, bukan satpam biasa.
"Keluarganya (Iwan) kan tertutup, kita mendekati rumahnya saja nggak bisa. Kita mau nyerahkan PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) saja kadang kesusahan. Lewat satpam kadang nggak mau nerima," ungkap Paryanto kepada TribunSolo.com, Kamis (22/5/2025).
"Tertutup soalnya yang jaga bukan satpam biasa. Aparat semua, karena linmas yang kelurahan mau ngatur apa gitu agak kesusahan, termasuk mau komunikasi," imbuhnya.
Tak hanya kesulitan mendekati rumah Iwan, Paryanto juga menyebut Bos Sritex itu tidak pernah berkomunikasi dengan Lurah setempat selama lima tahun belakangan.
Menurutnya, komunikasi Iwan dan Lurah setempat terjadi terakhir lima tahun lalu, saat Iwan mengadakan buka bersama di rumahnya.
"Kalau Bu Lurah (Asti Murti, yang sekarang) belum pernah (komunikasi) dengan Iwan. Setahu saya yang pernah komunikasi itu lurah sebelumnya dan sempat buka bersama di rumahnya."
"Tapi, sampai lima tahun ini belum pernah lagi," tutur Paryanto.
Dalam konferensi pers yang digelar pada Rabu (22/5/2025), Direktur Penyidikan pada Jampidsus Kejaksaan Agung (Kejagung), Abdul Qohar, mengungkapkan peran Iwan Setiawan Lukminto dalam kasus dugaan korupsi penyalahgunaan kredit bank Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) untuk Sritex.
Diketahui, Iwan menerima dana kredit untuk Sritex dari Bank BJB dan Bank DKI.
Dalam perjanjiannya, uang kredit senilai ratusan miliar, seharusnya diperuntukkan sebagai dana modal operasional Sritex.
Tetapi, dana kredit itu justru digunakan Iwan untuk membeli aset tak produktif hingga membayar utang kepada pihak ketiga.
"Tetapi, berdasarkan hasil penyidikan hang tersebut tidak digunakan untuk modal kerja, tapi digunakan untuk membayar utang dan membeli aset yang tidak produktif," jelas Qohar, Rabu.
"Ada di beberapa tempat, ada yang di Jogja, ada yang di Solo. Jadi nanti pasti akan kita sampaikan semuanya," imbuh dia.
Dalam kasus ini, Iwan bersama dua mantan pejabat Bank BJB dan Bank DKI, Dicky Syahbandinata dan Zainuddin Mappa, sudah ditetapkan sebagai tersangka.
Dicky dan Zainuddin menjadi tersangka karena memberikan kredit secara melawan hukum kepada Sritex, melalui Iwan.
Keduanya telah melanggar Standar Operasional Prosedur (SOP) Bank serta Undang-undang RI Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, sebab tak melakukan analisis dan menaati prosedur saat memberikan kredit kepada Sritex, yang kala itu dipimpin Iwan.
Pasalnya, Sritex memiliki peringkat BB- atau sebagai perusahaan yang berisiko gagal bayar cukup tinggi, berdasarkan penilaian dari Lembaga Pemeringkat Fitch dan Moodys.
Peringkat itu membuat Sritex menjadi perusahaan yang tidak layak diberi kredit tanpa adanya jaminan.
"Padahal seharusnya pemberian kredit tanpa jaminan hanya dapat diberikan kepada perusahaan atau debitur yang memiliki peringkat A yang seharusnya wajib dilakukan sebelum diberikan fasilitas kredit," tutur Qohar.
Lebih lanjut, Qohar menjelaskan, hal tersebut kemudian dibuktikan dengan macetnya pembayaran kredit dari Sritex kepada Bank BJB dan Bank DKI.
Akibat adanya pemberian kredit dari Bank BJB dan Bank DKI kepada Sritex, negara mengalami kerugian hingga Rp692 miliar.
Kini, Iwan, Dicky, dan Zainuddin ditahan setelah menjalani pemeriksaan di Kejagung pada Rabu malam.
Mereka dijerat Pasal 2 ayat 1 juncto Pasal 3 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH-Pidana.
(Pravitri Retno W/Fahmi Ramadhan, TribunSolo.com/Andreas Chris)