MBG perlu pemantauan ketat dalam pelaksanaannya, mulai dari menu yang benar-benar bergizi hingga penyaluran yang tepat sasaran

Jakarta (ANTARA) - Di saat banyak orang yang menyangsikan atau bahkan mengolok-olok program Makan Bergizi Gratis, sebenarnya pemerintah sudah berada di jalur yang tepat pada fase pertama fondasi pembangunan manusia.

Program MBG, jika disambungkan dengan Cek Kesehatan Gratis dan Sekolah Rakyat, adalah pertalian dari fondasi utama dalam membangun sumber daya manusia unggul: gizi, pencegahan penyakit, dan pendidikan.

Ketiga program ini tidak hanya menyentuh aspek kesehatan dan pendidikan, tetapi juga menjadi upaya konkret mengatasi krisis gizi kronis yang selama ini mengintai generasi muda Indonesia: stunting.

Data Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2024 menunjukkan prevalensi stunting nasional sudah berada di bawah 20 persen, tepatnya 19,8 persen. Ini angka terendah, dan sebuah pencapaian yang signifikan dari lebih dari satu dekade. Pada 2013, stunting di Indonesia mencapai 37,2 persen. Lihat perbandingannya dengan negara-negara maju seperti AS, Jepang, dan bahkan China yang angka stuntingnya terjaga tidak lebih dari 5 persen.

Istilah stunting mulai terdengar setelah Menteri Kelautan dan Perikanan 2014-2019 Susi Pudjiastuti ramai mengampanyekan Ayo Makan Ikan. Singkatnya, seorang anak yang mengalami stunting akan tumbuh lambat secara fisik dan hampir seperti kerdil di usia yang seharusnya. Dia juga memiliki daya tahan tubuh yang rendah sehingga mudah terserang penyakit. Yang lebih buruk, pertumbuhan otak yang kecil juga berpengaruh pada lambatnya daya berpikir anak, IQ rendah, di bawah normal. Ditambah sakit-sakitan.

Stunting tidak terjadi seperti virus Covid-19 yang menyebar. Tidak akut atau tiba-tiba, tetapi kronis alias menahun.

Perjalanan anak yang stunting dimulai dari ibu yang tidak makan makanan bergizi ketika hamil. Bayinya tidak diberi ASI selama dua tahun, dan setelahnya anak itu tumbuh hanya suka jajan ketimbang makan nasi dengan lauk pauk dan sayuran lengkap.

Kasus stunting bukan hanya terjadi di daerah dengan pasokan makanan bergizi yang sulit, tapi juga banyak terjadi di perkotaan.

Program makan bergizi gratis menjadi tonggak penting dalam intervensi ini. Memang anak yang sudah stunting tidak akan bisa mencapai standar normal seperti anak yang sehat, tapi setidaknya bisa diperbaiki dan dikejar ketertinggalannya. Ini lebih baik, dibandingkan anak-anak melanjutkan budaya makan tidak sehat dengan hanya jajan makanan tinggi kalori dan nol gizi di lingkungan sekolah.

Pemerintah sejauh ini sudah menggandeng UMKM lokal dan memasok bahan pangan dari petani dan nelayan untuk menjamin pasokan makanan bergizi yang segar dan beragam. Di sinilah peluang besar muncul: menggabungkan upaya peningkatan gizi dengan penguatan ekonomi lokal. Namun, tantangannya tak kecil. Mekanisme distribusi, pemantauan kualitas gizi, dan keberlanjutan pendanaan harus dirancang dengan cermat.

Menu MBG yang diberikan kepada siswa di sekolah haruslah benar-benar bergizi. Pemantauan ketat terhadap menu ini harus secara konsisten dilakukan agar niat awal peningkatan mutu gizi anak-anak Indonesia tetap tercapai. Karena terdapat pula laporan dan pemberitaan tentang menu MBG yang asal-asalan, atau parahnya lagi hanya menyajikan makanan instan.

Cek kesehatan gratis

Cek kesehatan gratis juga menjadi pilar penting. Program ini akan memungkinkan deteksi dini terhadap masalah tumbuh kembang, infeksi kronis, atau kekurangan zat gizi mikro yang kerap tersembunyi. Idealnya, ini dilakukan secara berkala, dimulai sejak ibu hamil hingga anak usia sekolah dasar. Integrasi dengan sistem layanan primer seperti puskesmas akan menjadi kunci keberhasilan.

Selain stunting pada generasi muda, Indonesia juga memiliki PR besar dari generasi tua yang berpenyakit. Data dari Kementerian Kesehatan menyebutkan 75 persen kematian di Indonesia disebabkan oleh penyakit tidak menular (PTM), paling banyak gangguan jantung dan stroke.

Masalah ini salah satunya kembali pada akar yang sama, yaitu makanan. Ditambah lagi dengan pola hidup tidak sehat seperti merokok, dan minimnya aktivitas fisik. Dan kebanyakan, para pasien penyakit tidak menular tidak mengetahui bahwa dirinya memiliki risiko tinggi terkena stroke, serangan jantung, atau diabetes melitus.

Pengecekan kesehatan secara gratis ini sudah pernah menjadi ide beberapa tahun ke belakang, yang dibiayai dari skema layanan jaminan kesehatan. Namun BPJS Kesehatan saja sudah kewalahan dengan tanggungan pembiayaan PTM. Oleh karena itu, CKG dari pemerintah ini adalah solusi, asalkan seluruh masyarakat benar-benar melakukan pengecekan kesehatan.

CKG juga sangat penting dilakukan di usia muda. Karena pergeseran usia pengidap penyakit tidak menular mulai mendekati generasi yang lebih awal, tidak lagi hanya menjadi penyakit orang tua.

Sementara itu, Sekolah Rakyat membuka ruang pendidikan yang adil dan merata bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Jelas program ini sangat membantu bagi masyarakat miskin untuk mendapatkan hak pendidikan yang sama dengan kalangan masyarakat lain. Terlebih lagi, beberapa sekolah diintegrasikan dengan pemenuhan gizi yang sesuai guna mengoptimalkan pertumbuhan dari segi fisik dan kognitif. Ditambah pula dengan berbagai pelatihan untuk meningkatkan keahlian, maupun kemandirian dari seorang anak.

Kebodohan itu berdekatan dengan kemisikinan. Sekolah Rakyat adalah setitik harapan agar anak-anak yang terlahir dari keluarga miskin, menjadi berpendidikan dan memutus rantai kemiskinan keluarganya. Jika ini dilakukan pada setiap keluarga miskin, Indonesia Emas 2045 itu bukan lagi angan-angan dari sebuah visi.

Perbaikan dan berkelanjutan

Tiga program ini memang masih perlu banyak perbaikan di sana-sini. Dan yang terpenting adalah kepastian keberlanjutannya. Upaya menciptakan suatu generasi unggul tidak cukup hanya dilakukan dalam satu masa periode jabatan presiden.

MBG perlu pemantauan ketat dalam pelaksanaannya, mulai dari menu yang benar-benar bergizi hingga penyaluran yang tepat sasaran, khususnya kepada anak-anak yang memang butuh perbaikan asupan gizi. CKG perlu lebih gencar lagi dilaksanakan, karena Indonesia berkejaran dengan masalah penyakit tidak menular yang terus merusak suatu generasi.

Sedangkan Sekolah Rakyat perlu diperbanyak lagi. Peningkatan anggaran Sekolah Rakyat dari Rp7 triliun di tahun 2025 menjadi Rp24,9 persen di RAPBN 2026, dari 100 sekolah menjadi direncanakan 300 unit di tahun 2026, adalah sinyal baik. Agar lebih banyak lagi anak-anak keluarga miskin yang keluar dari lingkaran setan kemiskinan.

Prevalensi angka stunting masih harus diturunkan lebih rendah lagi jika Indonesia ingin menjadi bangsa yang maju. Pendidikan dan kesadaran orang tua tentang kesehatan dan tumbuh kembang harus ditingkatkan untuk tidak membiarkan anaknya menjadi stunting.

Pendisiplinan terhadap pola hidup tidak sehat mungkin diperlukan untuk menurunkan angka kematian akibat penyakit tidak menular yang merusak masyarakat usia produktif. Dan peningkatan kualitas pendidikan dari sisi kecerdasan intelektual, emosional, sosial, adversitas mutlak dilakukan untuk membangun masyarakat yang tidak hanya sekadar terdidik dan bekerja, tapi pemikir berpengetahuan yang menciptakan perubahan.

Memang ini masih awal dan masih banyak kurangnya. Tapi setidaknya, Indonesia dalam jalur yang tepat dalam membangun bangsa, yaitu berawal dari sumber daya manusianya.