Ringkasan Berita:
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tantangan pertumbuhan ekonomi di Asia Tenggara adalah adanya missing middle. Missing middle adalah kesenjangan dalam berbagai sektor, seperti bisnis kecil dan menengah (UKM).
Di Asia Tenggara, kini terdapat 71 juta usaha kecil yang sedang tumbuh (small growing businesses/SGBs). Sebagian besar masih sulit dalam mendapatkan akses pembiayaan, teknologi dan pasar. Kondisi ini menciptakan kesenjangan pendanaan lebih dari 300 miliar Dolar AS di kawasan.
Kondisi ini mendorong KUMPUL, penggerak ekosistem inovasi dan kewirausahaan asal Indonesia, menggelar Connect for Change (C4C) Summit 2025 di Jakarta, Selasa (21/10/2025).
Founder KUMPUL sekaligus Chairperson KUMPUL Impact, Faye Wongso, mengungkapkan forum ini mendorong kolaborasi guna membantu pengusaha bertumbuh secara berkelanjutan melalui peningkatan akses terhadap pengetahuan, jaringan, dan pembiayaan.
Faye Wongso mengatakan dilihat dari sisi economic development, hampir 97ri seluruh enterprises di Asia Tenggara sebenarnya masih tergolong SGBs. Jadi bukan perusahaan besar.
"The missing middle economy ini posisinya di tengah: terlalu besar untuk menerima bantuan langsung dari pemerintah, tapi juga terlalu kecil untuk mendapat akses ke institusi keuangan besar atau investasi bernilai tinggi. Jadi, mereka ini seperti terjebak di tengah," kata Faye.
Akibatnya ada kesenjangan. Model pertumbuhan yang biasanya diarahkan ke bisnis besar atau ke bantuan kecil, tidak relevan untuk SGBs. Oleh karena itu, perlu dicari channel lain yang lebih inovatif supaya SGBs bisa berkembang.
Menurut Faye, kadang masalahnya tidak selalu soal pendanaan, bisa juga karena capacity building, jaringan (network), atau mentorship yang tidak mereka miliki.
"Kita di Jakarta sering kali take it for granted, karena dekat dengan akses dan infrastruktur. Tapi Indonesia itu bukan hanya Jakarta, meskipun orang Jakarta kadang suka “halu” seolah-olah pusat segalanya di sini. Padahal negara kita jauh lebih besar," kata dia.
Faye mengatakan forum tersebut merumuskan bagaimana cara memperkuat kolaborasi lintas sektor dan lintas negara agar usaha kecil bisa naik kelas secara global.
Faye mencontohkan ekosistem di Makassar pasti beda dengan di Bangkok atau Jakarta. Gaya orang, kebutuhannya, dan pendekatannya berbeda.
"Makanya perlu banyak local heroes dan ecosystem builders di tiap daerah. Kumpul sejak awal memang punya misi agar roda ekonomi ini berputar di seluruh wilayah Indonesia, bukan hanya di Jakarta atau Jawa," kata dia.
Potensi Pembiayaan di Asia Tenggara Sangat Besar
Tessa Wijaya dari praktisi keuangan mengatakan inovasi pembayaran digital bisa menjembatani kesenjangan 'missing middle' di Asia Tenggara. Menurut Tessa, dengan adanya pembayaran digital lewat QR Code, pelaku usaha kecil tidak perlu melalui proses rumit.
"Harapannya, kelompok 'missing middle' bisa ikut terjun ke dalam ekonomi digital. Untuk bisnis yang belum terhubung dengan sistem perbankan, mereka bisa mendaftar di platform , membuat tautan pembayaran, dan menerima transaksi digital, termasuk QR Code, dengan mudah," kata dia.
Menurut Tessa, potensi ekonomi digital Asia Tenggara masih sangat besar. Namun, masih banyak masyarakat yang belum memiliki akses terhadap dunia digital.
Acara tersebut menghadirkan lebih dari 500 tokoh pemikir (thought leaders), termasuk pendiri startup, investor, korporasi, pembuat kebijakan, serta pemimpin ekosistem dari seluruh kawasan Asia-Pasifik.