Mekanisme Klaim Ganti Rugi Korban Lapindo di Sidoarjo, Begini Tahapannya
Hendro Ari Gunawan October 30, 2025 12:40 PM
Dampak dari luapan lumpur panas Lapindo di Sidoarjo memaksa para korban untuk menuntut ganti rugi dari PT. Lapindo Brantas. Berikut mekanisme klaim ganti rugi korban merujuk pada Laporan Penelitian Proses Pemberian Ganti Kerugian Akibat Lumpur Panas Lapindo susunan Sodikin, serta jurnal Perlindungan, Penegakan, dan Pemenuhan Hak atas Tanah Korban Lumpur Lapindo oleh Tsabita Latifaturrohman dan Rohmat Junarto.

Mengapa Ganti Rugi Menjadi Penting?

Dampak lumpur panas Lapindo tidak hanya merusak lingkungan secara fisik, tetapi juga mengguncang kehidupan masyarakat sehari-hari. Beberapa akibat yang dirasakan warga antara lain:
  • Lumpur panas yang meluap dari sumur eksplorasi gas Lapindo merusak lingkungan sangat parah di Kecamatan Porong, Sidoarjo.
  • Kualitas tanah, air, dan udara menurun drastis, sehingga lingkungan tidak lagi mendukung kehidupan makhluk hidup.
  • Warga kehilangan akses ke lahan pertanian dan perumahan, sehingga membuat mereka kesulitan menjalani kehidupan sehari-hari.
Permasalahan ini menjadi dasar tuntutan masyarakat atas ganti kerugian.

Peraturan dan Dasar Hukum Proses Klaim Ganti Rugi

Sebelum warga dapat menerima ganti rugi, berbagai aturan hukum harus dipahami agar hak-hak mereka terlindungi. Berikut di antaranya:
  • Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang perlindungan lingkungan hidup menjadi acuan umum terkait tanggung jawab perusahaan.
  • Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) menegaskan tanggung jawab perdata bagi pihak yang merugikan orang lain.
  • Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo menjadi dasar hukum khusus terkait prosedur pemberian ganti rugi kepada masyarakat terdampak.
Peraturan Presiden ini mengatur mekanisme pembayaran ganti rugi, termasuk besaran, jadwal, dan syarat administratif yang harus dipenuhi oleh korban sebelum menerima kompensasi.

Bagaimana Penyelesaian Sengketa Dilakukan di Luar Pengadilan?

Tidak semua masalah hukum harus berakhir di pengadilan. Dalam kasus Lapindo, penyelesaian sengketa dilakukan melalui cara yang lebih fleksibel dan cepat. Berikut di antaranya:
  • Alternative Dispute Resolution (ADR) digunakan sebagai metode penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
  • Pemerintah bertindak sebagai negosiator aktif, membantu masyarakat dan PT. Lapindo Brantas mencapai kesepakatan.
  • Negosiasi mempertimbangkan aspek hukum dan non-hukum, termasuk kondisi sosial ekonomi warga.
  • Warga wajib menunjukkan bukti kepemilikan tanah dan bangunan, misalnya akta jual beli, untuk mengklaim ganti rugi.
Metode ini memungkinkan korban menerima ganti rugi secara adil tanpa melalui proses pengadilan yang panjang dan kompleks.

Tahapan dan Persyaratan yang Harus Dipenuhi Warga

Untuk memastikan proses klaim berjalan lancar, ada beberapa langkah yang perlu dilalui oleh masyarakat terdampak. Berikut di antaranya:
  • Identifikasi korban: Warga terdampak harus terdaftar dalam peta area terdampak yang ditetapkan pemerintah.
  • Pengumpulan dokumen: Bukti kepemilikan tanah, bangunan, dan properti lain yang terdampak wajib diserahkan.
  • Proses verifikasi: PT. Lapindo Brantas melakukan verifikasi dokumen sebelum menyetujui besaran ganti rugi.
  • Negosiasi tambahan: Jika ada perbedaan persepsi antara pihak korban dan perusahaan, pemerintah memfasilitasi dialog hingga tercapai kesepakatan.

Bentuk Ganti Rugi dan Cara Pembayaran

Setelah melalui proses verifikasi dan negosiasi yang matang, korban lumpur Lapindo akhirnya menerima ganti rugi dalam bentuk yang jelas, terukur, dan sesuai kebutuhan. Bentuk ganti rugi tersebut adalah sebagai berikut:

1. Ganti Rugi Tanah dan Properti

  • Rp 1.000.000/m² untuk tanah
  • Rp 1.500.000/m² untuk properti
  • Rp 125.000/m² untuk persawahan
Pembayaran dilakukan secara bertahap, yaitu 20% dibayarkan di awal, dan sisanya diberikan satu bulan sebelum kontrak rumah selama dua tahun selesai.

2. Ganti Rugi Tanah Wakaf

PT. Lapindo Brantas juga memberikan kompensasi atas tanah wakaf yang terdampak, seperti pondok pesantren dan Masjid Abill Hasan Asy Syadili, MI Ma’arif Jatirejo, dan rumah Gus Maksum. Sementara tanah wakaf lainnya menjadi tanggung jawab pemerintah.

3. Pemanfaatan Lumpur dan Status Tanah

Masyarakat bisa memanfaatkan lumpur untuk membuat bata beton atau mengembangkan kawasan wisata, dengan izin pihak terkait.
Adapun tanah yang terdampak lumpur dianggap hilang fungsinya. Setelah bencana selesai, tanah tersebut menjadi milik pemerintah karena ganti rugi sudah diberikan kepada warga.
Dengan cara ini, ganti rugi yang diberikan tidak hanya berupa uang, tetapi juga memperhatikan kebutuhan sosial serta pemanfaatan sumber daya lokal bagi masyarakat terdampak.
Baca Juga: Kronologi Bencana Tsunami Aceh 2004, Ini Penyebab dan Dampaknya
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.