Desa Tak Lagi Pinggiran: Peluang Emas Ekonomi Berkelanjutan
Kuntoro Boga Andri November 24, 2025 01:00 PM
Ketahanan pangan adalah syarat ketahanan nasional. “Pangan bermasalah, negara bermasalah,” ujar Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman. Statment diatas adalah sebuah pengingat bahwa kekuatan suatu bangsa bertumpu pada kemampuan mengelola sektor pertaniannya. Namun, di balik kontribusi besar pertanian terhadap penyediaan pangan dan lapangan kerja, masih ada peluang emas yang belum tergarap maksimal, yaitu pembangunan ekonomi berkelanjutan di pedesaan melalui hilirisasi pertanian. Nilai tambah hasil bumi tidak berhenti pada proses tanam dan panen, namun juga lahir ketika setiap desa mampu mengolah komoditas menjadi produk bernilai tinggi, yang menggerakkan ekonomi lokal sekaligus menjaga keberlanjutan lingkungan dan sosial.
Indonesia memiliki modal dasar untuk meraih peluang emas itu di kawasan perdesaan. Dari padi, kopi, kakao, kelapa, sawit, kelapa, hingga aneka rempah, kekayaan komoditas tersebar luas di pedesaan. Namun hingga kini sebagian besar komoditas pertanian masih dilepas ke pasar dalam bentuk mentah, sehingga desa hanya menikmati sedikit sekali dari nilai ekonominya. Padahal berbagai kajian menunjukkan pertumbuhan sektor pertanian 2–4 kali lebih efektif meningkatkan pendapatan kelompok termiskin dibanding sektor lain. Artinya, bila hilirisasi dimajukan, manfaat ekonominya langsung dirasakan petani dan warga desa, bukan hanya pelaku industri besar di kota. Di sinilah letak peluang emas ekonomi berkelanjutan, dimana desa menjadi pusat penciptaan nilai tambah, bukan sekadar lumbung bahan mentah.
Pentingnya hilirisasi mendapat perhatian serius dari Presiden Prabowo Subianto, yang menegaskan perlunya memperluas hilirisasi ke sektor pertanian dan kelautan. Komoditas seperti kopi, kakao, mete, lada, dan rumput laut diharapkan tidak lagi diekspor dalam bentuk mentah, melainkan diolah di dalam negeri agar keuntungan ekonomi tidak keluar dari Indonesia.

Jantung Ekonomi Berkelanjutan di Desa

Hilirisasi menawarkan model ekonomi desa yang mandiri dan adaptif terhadap masa depan. Dengan mendekatkan aktivitas pengolahan ke sumber bahan baku, terbentuk rantai nilai baru yang menahan perputaran uang di tingkat lokal. Industri pengolahan skala kecil tumbuh di desa, koperasi petani menjadi lokomotif usaha, dan usaha mikro tidak hanya menjual produk mentah, tetapi memasarkan produk olahan bernilai tinggi. Desa tidak lagi menjadi ujung terlemah dalam rantai ekonomi, melainkan simpul utama penciptaan nilai.
Berbagai kisah sukses memperlihatkan potensi besar ini. Di Flores, Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) mengelola penyangraian kopi, pembuatan VCO, minyak goreng kelapa, hingga cokelat artisanal. Semua dilakukan oleh masyarakat desa sendiri, membuka lapangan kerja, menjaga sirkulasi ekonomi lokal, dan meningkatkan pendapatan petani. Di Lampung, petani lada naik kelas karena produk lada kemasan premium dari desa menembus supermarket nasional. Di Sulawesi Selatan, koperasi petani mete menghasilkan kacang mete siap konsumsi yang dipasarkan melalui e-commerce. Masing-masing cerita ini menunjukkan bagaimana hilirisasi menjadi jembatan antara produksi desa dan pasar modern.
Dana Desa yang sejak 2015 mencapai ratusan triliun juga membuka ruang besar untuk memperkuat hilirisasi. Fase pembangunan infrastruktur dasar di desa kini memasuki tahap lanjut: memacu produktivitas ekonomi. Sentra pengolahan pangan, gudang penyimpanan, mesin pascapanen, hingga digitalisasi pemasaran adalah investasi strategis agar nilai tambah benar-benar lahir di kampung. Bila peluang emas ini digarap serius, kesenjangan desa, kota menyempit, urbanisasi dapat dikendalikan, dan desa menjadi pusat pertumbuhan ekonomi baru.
Hilirisasi juga memperkuat keberlanjutan lingkungan. Ketika nilai ekonomi komoditas meningkat tanpa perlu memperluas lahan, tekanan pembukaan hutan baru dapat ditekan. Produktivitas meningkat, tetapi jejak ekologis menurun, inti dari ekonomi berkelanjutan. Industri turunan kelapa sawit, misalnya, mampu melipatgandakan nilai tanpa menambah ekspor CPO mentah, apalagi jika limbah sawit diolah menjadi biogas, pupuk organik, atau pakan ternak. Dengan cara ini, ekonomi desa tumbuh seiring konservasi lingkungan, bukan bertentangan dengannya.
Kegiatan pertanian di desa perlu mengacu kepada peningkatan nilai tambah komoditas
zoom-in-whitePerbesar
Kegiatan pertanian di desa perlu mengacu kepada peningkatan nilai tambah komoditas

Petani sebagai Pelaku Utama, Bukan Sekadar Pemasok

Peluang emas ekonomi berkelanjutan tidak akan terwujud tanpa perubahan struktur nilai bagi petani. Selama puluhan tahun, petani hanya menikmati sebagian kecil dari nilai ekonomis hasil panen. Hilirisasi mengubah posisi itu. Petani dapat menjadi pemilik usaha melalui koperasi, BUMDes, atau kemitraan agroindustri berbasis desa. Keuntungan dari produk olahan kembali ke petani, bukan berhenti di tengkulak atau pelaku industri besar.
Lebih jauh, hilirisasi menarik keterlibatan generasi muda. Anak muda desa yang menguasai teknologi, pemasaran, dan inovasi dapat menjadi motor baru pembangunan agroindustri desa. Ketika desa menyediakan pekerjaan layak, wirausaha, dan kesempatan berkembang, maka gelombang eksodus anak muda ke kota bisa berbalik menjadi arus balik pembangunan desa.
Hilirisasi juga memperkuat ketahanan pangan nasional. Produk olahan memiliki daya simpan lebih lama, distribusi lebih efisien, dan mampu menstabilkan pasokan sepanjang tahun. Pengolahan bahan pangan lokal seperti singkong, talas, sorgum, jagung, sagu, dapat mengurangi ketergantungan pada pangan impor dan memperkuat kemandirian pangan. Pilihan konsumsi masyarakat juga semakin beragam, meningkatkan resiliensi sistem pangan ketika satu komoditas mengalami gangguan produksi atau pasokan.

Saatnya Peluang Emas Itu Diambil

Tantangan masih nyata: teknologi pengolahan yang belum merata, tenaga terampil terbatas, infrastruktur logistik belum memadai, pembiayaan usaha sulit diakses, dan kebijakan belum sepenuhnya berpihak. Namun, semua ini adalah agenda kerja, bukan penghalang. Investasi mesin pascapanen skala kecil, pelatihan wirausaha bagi pemuda tani, pendirian sentra agroindustri desa, dan kemitraan usaha harus terus didorong. Pemerintah berperan sebagai fasilitator yang menciptakan iklim usaha kondusif, kampus dan lembaga riset mengembangkan teknologi olahan yang terjangkau, sementara swasta dan BUMN menjadi mitra pasar dan investasi. Tanpa kolaborasi, hilirisasi hanya slogan, sementara dengan kolaborasi, ia menjadi pembuka jalan kemakmuran desa.
Kini ada dua pilihan, yaitu membiarkan desa terus menjual bahan mentah dengan nilai rendah, atau memperkuat hilirisasi agar nilai tambah, lapangan kerja, dan pendapatan tetap di desa. Pilihan pertama mempertahankan ketimpangan, sedangkan pilihan kedua menawarkan kemakmuran berkelanjutan.
Peluang emas ekonomi desa berkelanjutan sudah ada di depan mata. Ia tersimpan dalam biji kopi yang berubah menjadi kemasan premium, kelapa yang menjadi VCO, singkong yang menjadi tepung, dan sawit yang menjadi beragam turunan bernilai tinggi. Semua dimulai bukan dari kota, tetapi dari desa, tempat kekayaan bumi Indonesia tumbuh.
Desa bukan lagi pinggiran. Dengan hilirisasi pertanian sebagai mesin penggerak, desa menjadi pusat ekonomi baru yang inklusif, modern, dan berkelanjutan.
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.