Jakarta (ANTARA) - Wakil Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Otto Hasibuan menilai polemik hukum yang mencuat pascaputusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan terbitnya Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 tidak seharusnya berlarut-larut dan menyita energi publik.

Saat menghadiri Rapat Pleno Komisi Percepatan Reformasi Polri di Jakarta, Kamis (18/12), ia mengatakan perdebatan hukum semata justru berpotensi mengaburkan substansi persoalan yang lebih mendasar.

"Inti persoalannya sebenarnya sederhana, apakah kita sepakat dan apakah itu juga bermanfaat jika anggota kepolisian menduduki jabatan di kelembagaan tertentu. Di situ lah substansinya," ujar Otto seperti dikutip dari keterangan yang dikonfirmasi di Jakarta, Jumat.

Perpol tersebut mengatur penugasan anggota Polri untuk menduduki jabatan pada 17 kementerian dan lembaga negara di luar struktur Polri.

Ia menekankan fokus utama seharusnya diarahkan pada manfaat dan kebutuhan kelembagaan, bukan semata pada perdebatan normatif.

Otto, yang juga merupakan anggota Komisi Percepatan Reformasi Polri, menegaskan isu penugasan anggota Polri di kementerian dan lembaga tidak dapat dilihat semata-mata dari perspektif hukum normatif.

Menurutnya, persoalan tersebut harus dibahas secara komprehensif dan lintas sektor, mengingat pada praktiknya tidak semua kementerian dan lembaga memiliki pandangan yang sama terkait pengisian jabatan tertentu oleh anggota Polri.

"Karena itu, pembahasannya harus dilakukan bersama lintas kementerian dan lembaga. Tidak bisa sepihak," tuturnya.

Lebih lanjut, ia menekankan Kemenko Kumham Imipas memiliki peran strategis dalam menjembatani perbedaan pandangan antarkementerian dan lembaga.

Dalam konteks tersebut, ia menyampaikan penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) dapat dipertimbangkan sebagai solusi transisi guna memberikan kepastian hukum sekaligus menjaga keseimbangan kewenangan antarlembaga.

Jika seluruh kementerian dan lembaga sepakat tidak ada persoalan dengan penugasan anggota Polri di instansi tertentu, kata dia, maka yang diperlukan tinggal pengaturan hukumnya.

"Namun jika belum tercapai kesepakatan, tentu harus dicari solusi yang tepat,” kata Otto menambahkan.

Sementara itu, Ketua Komisi Percepatan Reformasi Polri Jimly Asshiddiqie menyampaikan Komisi telah menyepakati penggunaan metode Omnibus Law atau sapu jagat dalam penyusunan rekomendasi revisi Undang-Undang Polri, sekaligus perancangan sejumlah PP yang berkaitan dengan penataan ulang sistem penugasan anggota Polri di kementerian dan lembaga.

Langkah tersebut diambil menyusul polemik terbitnya Perpol Nomor 10 Tahun 2025 pascaputusan MK yang memunculkan perdebatan luas di ruang publik.

"Karena itu, kami sepakat menggunakan metode Omnibus, baik dalam perancangan undang-undangnya maupun dalam perancangan peraturan pemerintah," ujar Jimly.