TRIBUNBANTEN.COM - Program Makan Bergizi Gratis (MBG) disarankan dikelola langsung oleh kantin atau koperasi sekolah guna mencegah kasus keracunan makanan serta meminimalkan potensi penyimpangan anggaran. Usulan tersebut disampaikan Sekretaris Jenderal Matahukum, Mukhsin Nasir, menanggapi berbagai persoalan yang muncul dalam pelaksanaan MBG di sejumlah daerah.
Mukhsin Nasir menilai pengelolaan MBG oleh pihak ketiga, khususnya swasta, menimbulkan banyak masalah di lapangan. Mulai dari kualitas makanan yang kurang terjaga hingga dugaan pemangkasan anggaran per porsi yang merugikan siswa.
“Sebaiknya Presiden Prabowo dan Badan Gizi Nasional segera mengevaluasi pelaksanaan MBG. Pengelolaan program ini lebih tepat jika diserahkan kepada kantin atau koperasi sekolah, bukan pihak swasta,” ujar Nasir, Kamis (23/12/2025).
Baca juga: Penyaluran MBG di Kecamatan Bayah Lebak Dihentikan Sementara, Diduga Dana Insentif Ditahan Yayasan
Menurut Nasir, pengelolaan MBG oleh sekolah akan membuat proses penyediaan makanan menjadi lebih pendek dan terkontrol. Dengan demikian, risiko makanan basi yang berujung pada keracunan dapat ditekan.
“Jika dapur MBG berada di sekolah atau dikelola kantin sekolah, makanannya lebih segar dan pengawasannya lebih mudah. Sekolah juga lebih memahami kebutuhan dan selera muridnya,” jelasnya.
Ia menambahkan, panjangnya rantai distribusi makanan saat ini menjadi salah satu penyebab utama terjadinya keracunan. Penyaluran MBG melalui Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) dinilai membuka celah bagi penurunan kualitas makanan serta praktik pemburu rente.
Daeng mengungkapkan, berdasarkan temuan di lapangan, anggaran MBG yang seharusnya sebesar Rp15.000 per porsi kerap menyusut menjadi sekitar Rp7.000 per anak. Kondisi tersebut, menurutnya, justru menguntungkan pengusaha besar.
“Program Makan Bergizi Gratis berpotensi berubah menjadi ‘makar bergizi gratis’ bagi pengusaha besar karena keuntungan yang mereka peroleh sangat besar,” tegasnya.
Ia memaparkan, jika satu SPPG melayani sekitar 3.000 porsi dengan margin Rp2.000 per porsi, maka keuntungan yang dikantongi bisa mencapai Rp150 juta per bulan atau sekitar Rp1,8 miliar per tahun.
Secara nasional, margin tersebut dinilai sangat signifikan dan berpotensi menimbulkan kebocoran anggaran hingga Rp33,3 triliun.
Selain menekan potensi penyimpangan, pengelolaan MBG oleh kantin sekolah juga dinilai mampu menggerakkan perekonomian lokal. Bahan baku makanan dapat dipasok dari UMKM di sekitar sekolah sehingga menciptakan sirkulasi ekonomi yang sehat.
“Sekolah bisa bekerja sama dengan komite sekolah dan UMKM setempat. Saya yakin pengelolaan MBG oleh sekolah akan jauh lebih efektif dan transparan,” ujarnya.
Daeng menegaskan, pemerintah masih memiliki waktu untuk memperbaiki tata kelola program MBG. Ia mendorong agar rantai distribusi dipersingkat dan praktik-praktik tidak sehat dalam pengelolaan anggaran segera dihilangkan.
“Jadikan MBG benar-benar sebagai program Makan Bergizi Gratis bagi siswa, bukan ladang keuntungan bagi segelintir pihak,” pungkasnya.
Sebagai informasi, hingga akhir 2025 pemerintah menargetkan pengoperasian 30.000 dapur MBG untuk melayani sekitar 82,9 juta penerima manfaat. Namun saat ini, Badan Gizi Nasional baru mengoperasikan sekitar 6.096 dapur MBG.
Pemerintah berencana mempercepat pembangunan lebih dari 24.000 dapur tambahan, terutama di wilayah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T), melalui satuan tugas yang dibentuk oleh pemerintah daerah.