Jakarta (ANTARA) - Gerakan Indonesia Cerah (GIC) menyebutkan rencana penerbitan peraturan pemerintah (PP) sudah tepat konteks dengan situasi yang berkembang dan membawa dampak signifikan berupa kepastian hukum atas Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025, yang selama ini menjadi kebutuhan mendesak.

Koordinator GIC Febry Wahyuni Sabran menilai penerbitan PP, meskipun secara tidak langsung, bertujuan mengakhiri polemik, memastikan Perpol 10/2025 tidak bermasalah secara hukum, serta memberikan perlindungan dan pengamanan terhadap implementasi perpol tersebut.

"PP memberikan hierarki hukum yang lebih kuat dibandingkan perpol, sehingga memperkuat legitimasi dan daya ikat dari substansi yang diatur," ujar Febry dalam keterangan di Jakarta, Selasa.

Dia mengatakan bahwa PP berfungsi sebagai instrumen proteksi yang mengamankan Perpol 10/2025 dari gugatan atau permasalahan hukum di masa mendatang.

Secara substantif, kata dia, PP memperkuat orientasi dan tujuan dari penerbitan Perpol 10/2025 dalam konteks reformasi dan profesionalisasi Polri.

Dengan demikian, menurut Febry, penerbitan PP memiliki dimensi strategis yang kompleks, yakni pertama, dari aspek hierarki peraturan perundang-undangan, PP berada pada posisi yang lebih tinggi dibandingkan perpol, sehingga memberikan landasan hukum yang lebih kokoh.

Kedua, kata dia, PP berfungsi sebagai benteng perlindungan terhadap Perpol 10/2025 dari berbagai gugatan atau permasalahan hukum yang mungkin muncul.

Ketiga, menurut dia, secara substansial, PP memperkuat orientasi dan tujuan dari kebijakan yang telah ditetapkan oleh Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo.

Dengan begitu, sambung dia, PP bukan hanya instrumen hukum formal, melainkan juga merupakan pernyataan politik yang jelas dari pemerintah tentang arah kebijakan kepolisian nasional.

"Langkah ini menunjukkan bahwa pemerintah memiliki visi yang terintegrasi dengan kepemimpinan Polri dalam upaya mereformasi dan memprofesionalkan institusi kepolisian Indonesia," tuturnya.

Febry pun berpendapat keputusan pemerintah tersebut menunjukkan adanya sinergi yang baik antara eksekutif dengan kepemimpinan Polri.

Dia menyebutkan koordinasi dan keselarasan visi antara Presiden dengan Kapolri menjadi kunci dalam mewujudkan reformasi kepolisian yang komprehensif dan berkelanjutan.

Ke depan, menurut dia, keputusan itu diharapkan dapat menjadi preseden positif dalam pengelolaan kebijakan publik, di mana pemerintah mengambil sikap tegas berdasarkan analisis komprehensif dan kepentingan nasional.

"Reformasi kepolisian memerlukan dukungan politik yang kuat dan kepastian hukum yang jelas dan penerbitan PP ini merupakan langkah konkret dalam arah tersebut," ungkap Febry.

Tantangan selanjutnya, kata dia, yakni memastikan implementasi yang efektif dari regulasi tersebut sehingga dapat memberikan dampak nyata bagi peningkatan kualitas layanan kepolisian kepada masyarakat.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra mengatakan bahwa pemerintah tengah menyusun PP untuk menuntaskan polemik terkait jabatan anggota Polri di luar struktur.

"Penyusunan PP jelas akan lebih cepat dibanding menyusun UU. Karena itu, Presiden memilih pengaturan melalui PP," kata Yusril di Jakarta, Minggu (21/12).

Dia mengatakan langkah penyusunan PP dipilih dibandingkan langsung merevisi Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri agar pembahasannya terfokus.

Dia menjelaskan Pasal 19 UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) secara tegas mengatur bahwa jabatan ASN tertentu dapat diisi oleh prajurit

Menurut dia, TNI dan anggota Polri dengan ketentuan lebih lanjut harus diatur dalam PP. Oleh karena itu, penyusunan PP menjadi dasar hukum yang jelas dan konstitusional.