Disonansi di Ruang Demokrasi
December 26, 2025 10:57 AM

drg Andi Fatahuddin M.Adm.Kes, Sp RKG
Alumnus FKG Unhas 1998

 

MASING-MASING civitas akademika melalui peran strategisnya perlu hadir sebagai penjaga arah dan integritas institusi, bukan sebagai aktor yang memperkeruh proses dengan narasi pelemahan.

Jika pun ada dugaan pelanggaran prosedur, ruang kritis yang tepat adalah bukan sepihak yang berpotensi membangun kecurigaan kolektif.

Sebab ketika ruang kritis tidak pada tempatnya, yang terjadi bukan koreksi, melainkan erosi legitimasi.

Pada alur ini bukan sekadar soal siapa yang menang termasuk kontestan, tetapi bagaimana proses itu dijalankan dan dihormati bersama.

Kritik perlu, tetapi ia harus berakar pada tanggung jawab, bukan pada kepentingan yang dibungkus moralitas semu.

Dalam perspektif tata kelola perguruan tinggi modern, ruang demokrasi merupakan proses politik-akademik yang sarat dengan dimensi normatif, prosedural, dan simbolik.

Oleh karena itu, setiap bentuk delegitimasi terhadap proses tersebut perlu dibaca secara kritis dalam kerangka legitimasi institusional dan etik demokrasi kampus. 

Proses demokrasi kampus yang terendus dengan pergerakan delegitimasi merupakan gejala yang patut dikritisi secara serius, namun juga proporsional. 

Perlu dipahami bersama bahwa pada setiap mekanisme demokrasi yang dijalankan pada dasarnya adalah proses institusional yang diatur oleh statuta dengan pembagian peran yang jelas sesama komponen penyelenggra.

Dan Ketika kritik atau keberatan muncul setelah atau di luar mekanisme resmi yang telah disepakati, maka ruang kritis itu berisiko salah tempat.

Secara konseptual, bahwa sangat benar adanya bahwa legitimasi tidak semata-mata ditentukan oleh hasil akhir, melainkan oleh kepatuhan terhadap prosedur yang telah disepakati secara normatif. 

Dalam konteks ini, statuta universitas berfungsi sebagai teks normatif yang mengatur relasi kuasa, pembagian kewenangan, serta mekanisme koreksi internal.

Dan ketika kritik disampaikan di luar kanal formal yang disediakan oleh statuta, maka secara semantik kritik tersebut bergeser dari “evaluasi prosedural” menjadi “delegitimasi simbolik”.

Di sinilah letak problem epistemik dan etisnya.

Ruang kritis yang seharusnya berfungsi sebagai instrumen korektif berubah menjadi arena produksi makna yang problematik.

Proses yang sah secara prosedural direpresentasikan seolah-olah cacat secara moral. 

Delegitimasi semacam ini tidak hanya menyerang proses, tetapi juga merusak kepercayaan kolektif sivitas akademika terhadap sistem pengambilan keputusan itu sendiri.

Lebih jauh, dalam teori governance, Wali Amanat diposisikan sebagai guardian of institutional integrity, yang tidak dengan keambiguan, insinuatif, dan akan selalu tersertakan basis bukti prosedural yang terverifikasi untuk memproteksi disonansi institusional melalui otoritas yang menenangkan dengan memproduksi kepastian.

Dari sudut pandang semantik, delegitimasi yang dilakukan tanpa argumentasi prosedural akan beroperasi melalui logika performatif dan bukan logika deliberatif.

Akan bekerja bukan untuk memperbaiki sistem, tetapi untuk membentuk persepsi. 

Dalam konteks akademik, hal ini berpotensi buruk karena kampus seharusnya menjadi ruang rasionalitas, bukanlah sugesti yang menjadi dasar penilaian.

Masalah utamanya pun bukan pada adanya kritik karena kritik adalah bagian sehat dari demokrasi kampus melainkan cara dan momentum kritik tersebut disampaikan.

Penolakan yang dilakukan di ruang publik tanpa terlebih dahulu ditempuh melalui kanal formal justru dapat melemahkan kepercayaan sivitas akademika terhadap institusi itu sendiri.

Institusi menjadi tanggung jawab bersama dan selalu terjaga untuk menjadi teladan dalam etika berdemokrasi: berbeda pendapat, tetapi tetap taat pada aturan main.

Dengan demikian, persoalan utama bukan pada keberadaan kritik itu sendiri, melainkan pada ketidaktepatan ruang, waktu, dan modus artikulasi kritik.

Kritik yang tidak disalurkan melalui mekanisme dan konteksnya berpotensi mencederai prinsip otonomi perguruan tinggi dan mengaburkan batas antara kontrol institusional dan kontestasi kepentingan.

Sebagai penutup, menjaga legitimasi demokrasi akademik berarti menjaga keberlanjutan institusi akademik itu sendiri.

Demokrasi kampus tidaklah perlu diukur dari seberapa keras kritik disuarakan, melainkan dari seberapa bertanggung jawab kritik tersebut ditempatkan. 

Tanpa kedisiplinan prosedural dan etika institusional, ruang kritis justru berubah menjadi ruang delegitimasi yang kontraproduktif bagi masa depan universitas.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.