Tanah pesisir terkikis. Rumah-rumah nelayan lenyap digulung ombak. Ribuan jiwa terpaksa direlokasi. Ini adalah alarm bahaya dampak kenaikan muka air laut di Kota Mataram, ibu kota Provinsi NTB. Bila tak diantisipasi daratan terancam tenggelam.
Tim Liputan: Idham Khalid, Wawan Sugandika, Robby Firmansyah.
Siang itu, suara musik lawas A. Rafiq berjudul “Milikku” terdengar sayup-sayup dari salah satu rumah di Pantai Mapak Indah, Kelurahan Jempong Baru, Kecamatan Sekarbela, Kota Mataram.
Lagu tahun 1978 itu mengalun bersama debur ombak yang perlahan mengikis halaman rumah para nelayan. Di bibir pantai, puing-puing bekas permukiman berserakan. Rumah-rumah itu hancur dihantam gelombang pasang. Tembok jebol. Atapnya roboh.
Tak ada lagi jarak antara rumah dengan pantai. Laut sudah berada di halaman rumah warga Mapak Indah.
Pada gazebo kecil, sekitar lima meter dari bibir pantai, seorang pria paruh baya duduk santai sambil membuka buku catatan lusuhnya. Dia adalah Haji Asad (55), tokoh masyarakat Lingkungan Mapak Indah.
Kepada Tribun Lombok ia bercerita bagaimana abrasi yang makin parah menimpa kampung mereka.
“Ini buku rekapan pembayaran ikan warga nelayan,” tutur Asad memulai percakapan, dengan kaca mata menempel di hidungnya.
Dahulu, Haji Asad juga merupakan seorang nelayan. Sejak muda ia menantang gelombang demi mencari rezeki di laut. Tapi seiring usia, dia memilih menjadi pengepul ikan.
Pria yang memiliki dua istri dan enam cucu itu menjadi saksi hidup bagaimana abrasi perlahan mengikis wilayah pesisir dan melenyapkan rumah-rumah penduduk.
Kenangan masa kecil suasana pesisir Mapak Indah tempo dulu masih membekas kuat di ingatannya.
Pesisir Mapak kini tak seindah namanya, banyak bangunan rumah penduduk sudah lenyap.
“Asli (sungguh)…dahulu jauh jarak pantai ini. Kami di situ (pantai) dahulu main selodor, main bola, nonton layar tancap. Tidak seperti sekarang ini, air lautnya semakin naik terus,” tuturnya lirih, sembari melihat ke arah pantai.
Ketika pertama kali membangun rumah, jarak garis pantai dari tempat tinggalnya kini sekitar 150 meter.
“Kalau dahulu itu, pesisir pantainya masih jauh. Di samping rumah saya ini dahulu ada tiga rumah, sudah habis ditelan laut. Di depannya lagi ada kebun kelapa, baru kemudian pesisirnya,” kenang Haji Asad.
Kini, jarak antara rumah Haji Asad dengan laut tinggal tujuh meter. Semua yang ia ceritakan tersebut sudah tidak ada. Ia bersyukur tahun 2022 silam rumahnya selamat dari amukan gelombang pasang.
Meski begitu, ia tidak bisa menutupi nada getir dalam suaranya. Setiap kali ombak besar datang, ia hanya bisa pasrah dan berdoa agar air tidak masuk rumahnya.
Pada akhir Desember 2022 silam, 17 unit rumah warga roboh diterjang cuaca ekstrem. Sebanyak 29 kepala keluarga (KK) dengan 100 jiwa menjadi korban. Mereka terpaksa mengungsi ke rumah keluarga.
Karena kondisi semakin parah, mereka akhirnya direlokasi ke hunian sementara (huntara) tahun 2023. Huntara ini berada di lahan seluas 20 are milik Pemprov NTB, tak jauh dari Pantai Mapak Indah. Biaya pembangunan menghabiskan Rp2,1 miliar dari biaya tak terduga (BTT) Pemerintah Kota Mataram.
Baca juga: Pemkot Mataram Akan Bangun Huntara bagi Korban Abrasi Pantai Mapak Indah
Haji Asad mengaku, saban tahun gelombang pasang dan abrasi selalu menjadi ancaman nyata bagi warga pesisir Kota Mataram, terutama pada musim hujan, antara bulan November hingga Februari.
Tapi kadang ia merasa kesal mendengar komentar miring para pihak yang menyalahkan warga membangun rumah di tepi pantai.
“Kan aneh, kok bisa pemerintah bilang, kenapa bisa buat rumah di pinggir pantai. Kalau ada yang ngomong gitu, dia anak kemarin sore. Kalau tahu begini kondisinya, air laut semakin naik, ngapain saya buat rumah di sini? Memang saya gila,” ujarnya tegas.
Abrasi bukan masalah baru bagi Kota Mataram yang memiliki garis pantai 9 kilometer (km). Dalam dua dekade terakhir, garis pantai terus mendekat ke halaman rumah penduduk.
Rumah-rumah nelayan hilang, kebun lenyap, dan tempat bermain anak-anak kini berubah menjadi hamparan pasir basah yang saban tahun kian menyempit. Sebagian warga terpaksa tinggal rumah susun sederhana sewa (Rusunawa).
Namun di tengah ancaman itu, warga seperti Haji Asad memilih tetap bertahan karena laut sudah menjadi kehidupannya. Tapi sampai kapan ia juga tidak tahu.
Begitu pula Husen (53), nelayan dari kampung sebelah, di Lingkungan Bangsal, Kelurahan Tanjung Karang, Mataram. Rumahnya kini nyaris tidak berjarak dengan pantai.
"Ini garis pantai jauh dulu, di depan (rumah) saya ini banyak pohon waru, mungkin ada sekitar 100 meter," kenang Husen, mengingat masa mudanya hidup di pesisir Mataram.
Sambil membuat umpan cumi-cumi, Husen menuturkan dalam beberapa tahun permukaan air laut semakin tinggi. "Kita enggak tahu penyebabnya, semakin tahun, air laut semakin naik," ujar Husen.
Kondisi serupa juga terlihat di Lingkungan Kampung Bugi, Kecamatan Ampenan. Rumah-rumah warga di kampung ini hancur digulung ombak.
Kota Mataram, yang merupakan ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) memiliki garis pantai sepanjang 9 kilometer. Garis pantai ini berada di wilayah Kecamatan Sekarbela dan Ampenan.
Di wilayah Kecamatan Ampenan saja tidak kurang dari 500 KK rawan dampak banjir rob pada musim hujan dan gelombang pasang.
Dampak paling berat dirasakan warga yang bermukim di daerah GG (governor ground) atau tanah milik negara di sempadan pantai.
Tidak hanya di Kota Mataram, kenaikan permukaan air laut juga terjadi di seluruh wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Berdasarkan data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) RI, tidak kurang dari 17.584 kepala keluarga (KK) di NTB berpotensi terkena dampak kenaikan air laut.
Berdasarkan tingkat kerawanan, daerah yang terdampak kenaikan muka air laut setinggi 1 meter dibagi menjadi tiga klaster.
Pertama, klaster dampak tertinggi (high impact cluster). Dua daerah yang masuk kategori ini adalah Kota Mataram dan Kota Bima.
Pada klaster ini persentase lahan dan populasi penduduk yang terdampak sangat tinggi. Biasanya panjang garis pantai relatif rendah dengan rata-rata 22 kilo meter (km).
Walau memiliki garis pantai yang lebih pendek tapi mengalami dampak signifikan terhadap lahan dan penduduk karena kepadatan penduduk memiliki lebih banyak lahan terbuka di dekat garis pantai.
Kedua, klaster dampak sedang (moderate exposure cluster). Ada enam daerah yang masuk kategori ini yakni: Lombok Barat, Dompu, Lombok Tengah, Lombok Timur, Sumbawa Barat, dan Lombok Utara.
Persentase dampak terhadap lahan dan penduduk di bawah 1 persen. Dampak kenaikan muka air laut di wilayah ini masih terbatas karena memiliki perlindungan alami, juga bisa dipengaruhi ketinggian wilayah dan infrastruktur yang memadai.
Ketiga, klaster dampak rendah (Low Impact Cluster). Daerah yang masuk kategori ini adalah Kabupaten Sumbawa dan Kabupaten Bima. Dampak terhadap lahan dan penduduk sangat kecil.
Daerah ini memiliki wilayah garis pantai yang panjang. Tapi infrastruktur dan sebaran penduduk sedang, lebih banyak berada di wilayah pedalaman, sehingga persentase dampaknya relatif lebih rendah walaupun paparan pesisirnya tinggi.
Perubahan yang dirasakan warga pesisir Mataram bukan sekadar cerita tentang ombak yang makin dekat. Fenomena itu, menurut para ahli, adalah bagian dari proses besar yang tengah terjadi pada bumi. Hal ini sering kali baru disadari ketika dampaknya sudah sampai di depan rumah.
Kenaikan muka air laut berdampak pada penyusutan daratan dan mundurnya garis pantai. Wilayah pesisir menjadi kawasan yang paling rentan terhadap dampaknya.
Di Indonesia, tren kenaikan muka air laut terus meningkat setiap tahunnya, dengan laju antara +3,3 hingga +4,6 mm per tahun, dan diprediksi dapat menenggelamkan beberapa wilayah pesisir di masa mendatang.
Kenaikan muka air laut ini tidak hanya mengakibatkan rusaknya rumah penduduk di pesisir, tetapi juga berdampak langsung pada layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, sosial, hingga mengancam ketahanan pangan.
Dosen Magister Ilmu Lingkungan, Universitas Muhammadiyah Mataram (UMMAT), Dr. Syafril, menjelaskan bahwa banjir rob dan kenaikan muka air laut sebenarnya disebabkan dua faktor, yakni proses alam dan aktivitas manusia.
Secara alamiah, pasang surut laut terjadi karena tarikan gravitasi dan angin membawa energi yang mendorong gelombang ke daratan. Tapi di banyak wilayah pesisir, termasuk Kota Mataram, NTB, proses itu diperparah oleh land subsidence, penurunan permukaan tanah yang membuat garis pantai seolah-olah naik, padahal daratanlah yang turun.
Namun faktor kedua yang digerakkan manusia sering kali membuat dampaknya berlipat. Dr. Syafril menyebut reklamasi sebagai salah satu penyebabnya. Ketika daratan baru dibentuk di satu titik, air laut yang kehilangan ruang akan bergerak mencari tempat lain, dan lokasi-lokasi seperti Mapak, Bintaro, hingga Ampenan bisa menjadi sasaran tekanan gelombang baru.
“Mungkin ada upaya reklamasi di suatu wilayah menyebabkan air di wilayah lain terdesak ke ruang yang berbeda,” jelas Syafril.
Kerusakan terumbu karang dan hutan mangrove juga turut memperparah kondisi. Padahal, keduanya adalah tameng alami pesisir. Karang memecah ombak sebelum sampai ke darat, sementara mangrove menahan erosi tanah dan memperkuat garis pantai.
Ketika manusia merusaknya demi hasil cepat atau pembangunan, wilayah pesisir kehilangan benteng pertahanannya.
Menurut Dr. Syafril, ancaman terbesar muncul dari pemanasan global. Gas-gas rumah kaca seperti CO₂ dan CFC mendorong peningkatan suhu bumi, mencairkan es di kutub, dan menyebabkan kenaikan permukaan laut secara global.
Ia merujuk laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) yang memprediksi bahwa kenaikan permukaan laut bisa mencapai 7 sentimeter pada tahun 2030.
Angka itu mungkin terlihat kecil. Tapi jika digabungkan dengan penurunan tanah, kerusakan ekosistem pesisir, dan badai yang semakin intens, maka selisih beberapa sentimeter bisa berarti hilangnya halaman rumah, jalan kampung, atau kebun kelapa, seperti yang kini dirasakan warga pesisir Kota Mataram.
“Kita saat ini sedang berada pada titik kritis,” tegas Dr. Syafril mengingatkan.
Meski kondisi semakin parah, namun ia tidak lantas menutup pintu harapan. Menurutnya, manusia masih bisa memperlambat dampaknya, bahkan mencegah dampak terburuk tenggelamnya daratan.
Upaya pencegahan dengan melakukan kerja-kerja dengan target jangka panjang dan jangka pendek.
“Salah satu yang dapat dilakukan untuk jangka panjang adalah menghidupkan kembali hutan mangrove, perbaiki karang, dan perbanyak memasukan air hujan ke dalam tanah melalui sumur resapan. Dan lakukan normalisasi DAS,” kata Syafril.
Sementara langkah jangka pendek bisa dimulai dari hal sederhana, seperti mengelola sampah dengan benar, menghindari lokasi berbahaya saat angin dan pasang tinggi, hingga membentuk kelompok relawan pantai untuk mitigasi bencana.
Mengutip laporan Bappens, upaya yang perlu dilakukan untuk mengurangi risko dampak kenaikan muka air laut antara lain penguatan infrastruktur.
Penguatan infrastruktur tangguh bencana perlu diintegrasikan dalam Rencana Aksi Pengurangan Risiko Bencana sesuai dengan Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) Nomor 9 Tahun 2014 tentang Penanggulangan Bencana.
Penguatan infrastruktur dapat dilakukan dengan pengembangan sistem drainase, perlindungan pesisir, dan peningkatan aksesibilitas wilayah terdampak untuk mengurangi risiko lingkungan.
Penguatan infrastruktur ini juga sudah disebutkan dalam Perda Provinsi NTB Nomor 5 Tahun 2024 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Provinsi NTB tahun 2024-2044 Pasal 98, namun belum dikhususkan untuk bencana iklim seperti banjir rob di daerah pesisir.
Secara implementasi, perlindungan pesisir yang saat ini dilakukan khususnya di wilayah urban seperti Kota Mataram adalah dengan membangun tumpukan ban diwilayah pesisir untuk mencegah abrasi.
Upaya mitigasi yang dapat dilakukan untuk jangka panjang adalah melalui nature-based solution yaitu pendekatan yang memanfaatkan ekosistem alami seperti mangrove, padang lamun, dan terumbu karang untuk mengatasi berbagai tantangan di wilayah pesisir, seperti abrasi, banjir rob, dan penurunan kualitas air.
Pendekatan ini tidak hanya berfokus pada perlindungan lingkungan, tetapi juga memberikan manfaat sosial dan ekonomi bagi masyarakat pesisir.
Pengembangan infrastruktur drainase penting untuk mencegah terjadinya banjir. Jenis drainase dapat disesuaikan dengan kondisi daerah pesisir dan perlu difokuskan ke area-area berisiko tinggi terjadinya kenaikan muka air laut.
Demikian juga dengan peningkatan aksesibilitas wilayah khususnya di wilayah risiko tinggi terdampak kenaikan muka air laut diperlukan sehingga penyediaan akses layanan dasar tetap optimal.
Sistem peringatan dini banjir rob juga perlu dikembangkan. Saat ini, sistem peringatan dini di NTB dilakukan melalui pemantauan dan prediksi BMKG yang disebarkan secara luas kepada Masyarakat untuk meningkatkan kesiapsiagaan.
Namun, belum ditemukan informasi tentang penggunaan teknologi sensor lokal atau sistem peringatan berbasis IoT di NTB yang terintegrasi secara khusus seperti di beberapa daerah lain.
Dalam jangka panjang, dengan penyesuaian alokasi dana dari pemerintah, pengembangan sistem peringatan dini banjir rob dapat dilakukan dengan menggunakan teknologi seperti Tide-Eye yang sudah diterapkan di Kota Semarang, Pekalongan dan Demak, Jawa Tengah.
Teknologi ini dapat memantau ketinggian air laut dan risiko banjir rob secara real-time melalui dashboard monitoring yang disediakan serta memungkinkan pengambilan keputusan yang tepat waktu untuk meningkatkan efisiensi infrastruktur mitigasi banjir, mengurangi dampak negatif, dan bahkan mencegah terjadinya banjir sebelum mencapai pemukiman. [ ]