Personal atau Profesional?
Edi Nugroho February 03, 2025 08:31 AM

Mujiburrahman

Seorang anak muda, pendatang dari Jawa, membuka usaha percetakan di Balikpapan. Dia mencoba menerapkan manajemen perusahaan secara profesional. Dia tetapkan gaji yang layak, serta beban kerja dan jam kerja yang jelas. Bagi yang bekerja lebih atau lembur, dia berikan gaji tambahan pula. Anehnya, hampir tidak ada karyawannya yang mau lembur. Mereka bekerja seadanya saja. Akibatnya, roda perusahaan berjalan lamban atau bahkan berjalan di tempat.

 Si bos akhirnya putar otak. Dia berusaha mencari jalan keluar. Dia mencoba mendekati karyawannya satu per satu. Ketika salah seorang karyawan mengundangnya untuk datang ke acara sunatan anaknya, si bos mau datang. Ada lagi yang mengundangnya untuk acara maulidan di rumahnya, dia pun datang. Satu karyawan lagi, dengan sedikit malu, meminjam sejumlah uang dengan janji nanti gajinya dipotong. Meskipun agak ragu, si bos bersedia menghutanginya. Hasilnya? Para karyawan itu bekerja penuh semangat. Mereka bahkan lembur. Dari hari ke hari, perusahaan bertambah maju.

 Peristiwa nyata di atas membuat saya merenung. Apakah pola manajemen modern yang profesional berdasarkan hak dan kewajiban yang jelas belum bisa diterapkan di masyarakat kita? Tampaknya memang demikian. Pemimpin yang pandai melayani anak buah dengan pendekatan yang bersifat pribadi cenderung dianggap baik, mengayomi dan humanis. Sebaliknya, pemimpin yang profesional dianggap kaku dan kurang manusiawi. Namun, perlu ditelaah lebih jauh, apa saja risiko yang ditimbulkan oleh pola hubungan personal itu jika dibandingkan dengan yang profesional?

 Jelas bahwa seorang pemimpin, sehebat apapun dirinya, tidak berada di ruang kosong. Dia dilingkupi oleh budaya sekitarnya. Dia tidak akan mampu menggerakkan anak buahnya untuk bekerja jika tidak menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Bukankah kepemimpinan yang baik adalah yang efektif, yakni berdaya guna dan mendatangkan hasil? Meskipun seseorang berpendidikan tinggi, memiliki sederet gelar, dari keluarga ningrat pula, tetapi jika perintahnya tidak didengar, arahannya tidak dipedulikan, maka roda lembaga tidak akan berputar. Dia akan gagal mewujudkan cita-cita bersama.

 Di sisi lain, kepemimpinan yang mengayomi hingga hal-hal pribadi atau privat itu akan menimbulkan masalah-masalah serius, terutama jika diterapkan di lembaga-lembaga modern. Pertama, orang akan cenderung sulit membedakan mana urusan kantor, mana urusan pribadi. Bukan saja anak buah yang terbiasa diurus masalah-masalah pribadinya, tetapi terutama justru si bos. Jika pelayanan kepada si bos melampaui hak-haknya, maka akan terjadi personalisasi lembaga. Seolah-olah si bos dan keluarganya identik dengan lembaga itu sendiri, nyaris tak terpisahkan.

 Kedua, jika lembaga itu besar, dengan jumlah pegawai ratusan atau ribuan orang, maka hanya orang-orang tertentu yang bisa mendapatkan perhatian khusus. Tidak mungkin semua kepentingan pribadi bawahan diperhatikan si bos. Muncullah orang-orang dekat, ring satu atau para pembisik. Lambat-laun, hal ini menimbulkan kecemburuan bagi yang lain. Akibatnya, para bawahan akan bersaing mendekati bos. Syukur sekali jika hal itu mereka lakukan dengan menunjukkan kinerja yang bagus. Sayangnya, orang cenderung lebih memilih jalan pintas, yaitu dengan cara menjilat atau menyogok!

 
Ketiga, ketika hubungan kerja dibangun secara kekeluargaan, maka nepotisme sulit dihindari. Si bos dan orang-orang dekatnya akan memasukkan keluarga mereka menjadi karyawan dengan tanpa mempertimbangkan kebutuhan dan kelayakan. Hal ini tidak hanya sering terjadi di lembaga-lembaga pemerintah, tetapi juga swasta. Cukup banyak pekerja honorer di kantor-kantor pemerintah adalah keluarga bos-bos tertentu atau orang dalam. Jika hal ini terus berlangsung, maka sangat mungkin lembaga itu akan kelebihan pegawai, atau banyak pegawainya yang tidak kompeten.

 Keempat, akan sangat sulit memberantas korupsi. Dalam pola hubungan kekeluargaan itu, orang akan cenderung menganggap persekongkolan sebagai kewajaran. Yang penting dinikmati bersama, meskipun sebenarnya itu adalah korupsi berjemaah. Apalagi jika sudah menjadi kebiasaan, si bos bagi-bagi duit laksana pahlawan. Ketika si A atau organisasi B datang meminta bantuan, si bos langsung memberikan uang dari dompetnya, atau mentransfer dari rekening pribadinya. Setelah itu diam-diam, si bos meminta agar uang itu diganti oleh bawahannya dari anggaran kantor!

 Memang, seorang pemimpin yang berhasil membangun hubungan personal dengan lingkaran tertentu akan sangat disayangi dan dihormati karena dia menjadi pelindung bagi kepentingan-kepentingan mereka. Sebagai imbalan, para bawahan akan setia kepadanya. Para bawahan yang tergantung pada perlindungan sang pemimpin itu tentu saja akan membela tuannya habis-habisan, jika ada pihak lain yang menyerang. Bahayanya adalah, jika di sisi lain juga ada kelompok serupa, maka akan terjadi benturan. Dapat dipastikan, konflik akan meledak dan sulit dipulihkan.

 Sebaliknya, seorang pemimpin profesional dan kurang membangun hubungan personal cenderung kurang disayang. Anak buah melihatnya sekadar sebagai mitra kerja dengan hak dan kewajiban masing-masing. Jika ada serangan pihak lain kepada si pemimpin, anak buahnya tidak akan membelanya habis-habisan. Ketika si pemimpin berhenti atau dimutasi, tak akan banyak pula yang menyesali. Namun, pemimpin profesional akan meninggalkan sistem yang dapat menjaga organisasi dari keruntuhan. Kehadirannya baru akan dirindukan ketika sistem yang baik itu tidak berjalan lagi.

 Yang ideal tentu adalah pemimpin yang profesional sekaligus mengesankan secara personal. Dia mampu bekerja dan mengelola bawahan sesuai hak dan kewajiban masing-masing, tetapi pada saat yang sama, dia juga memperlakukan mereka secara manusiawi, dan mampu berempati terhadap masalah-masalah pribadi yang mereka hadapi. Namun, jika harus memilih, kiranya yang profesional jauh lebih baik. Jika Machiavelli mengatakan, pemimpin itu lebih baik ditakuti daripada dicintai, maka kita juga bisa mengatakan, pemimpin itu lebih baik profesional daripada personal. (*)

************

Jelas bahwa seorang pemimpin, sehebat apapun dirinya, tidak berada di ruang kosong. Dia dilingkupi oleh budaya sekitarnya. Dia tidak akan mampu menggerakkan anak buahnya untuk bekerja jika tidak menyesuaikan diri dengan lingkungannya.

 

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.