Mujiburrahman
BANJARMASINPOST.CO.ID - “Bapak ini kok laptopnya merek biasa. Harusnya orang selevel Bapak bukan merek yang ini,” katanya mengingatkan saya. Dia adalah salah seorang teman-karyawan di UIN Antasari, yang khawatir dengan penilaian publik terhadap penampilan saya.
“Coba kamu bandingkan antara saya yang pakai laptop merek ini dengan yang pakai laptop merek mahal, siapa yang paling banyak karya tulisnya? Saya kira, karya saya lebih banyak,” kataku sambil tertawa. Dia akhirnya paham dengan sikap saya.
Pada bulan Ramadan kemarin, saya terperangah membaca berita di Banjarmasin Post tentang jasa penyewaan iPhone. Selama Ramadan dan menjelang Idul Fitri, banyak orang menyewa iPhone untuk menghadiri acara buka puasa bersama dengan teman-teman lama atau sesama alumni.
Biaya sewa per enam jam berkisar dari Rp 40 ribu hingga Rp 60 ribu. Sekitar 70 persen yang menyewa adalah perempuan. Untuk apa? Saya kira bukan sekadar digunakan untuk berfoto, tetapi yang lebih utama iPhone itu dipamerkan sebagai simbol sukses.
Jika memang begitu, betapa bodohnya kita! Mengapa kita berpikir bahwa barang mewah yang kita miliki akan membuat diri kita lebih berharga? Apa hubungan antara mobil mewah yang kita naiki dengan kualitas diri kita? Meskipun kita memiliki dan menaiki mobil seharga milyaran rupiah, mobil itu tak akan bisa menjadikan kita manusia yang berilmu dan berakhlak mulia.
Mungkin mobil itu dapat menunjukkan bahwa kita adalah orang kaya. Namun, jika mobil itu suatu hari terbakar, dicuri orang, atau harus dijual, maka kita langsung menjadi manusia tak berharga!
Mengapa sesat pikir dan kebahlulan ini menyebar bagai virus Corona? Tak diragukan lagi, sebab utamanya adalah materialisme. Yang saya maksud dengan materialisme di sini adalah, kita mengukur nilai segala sesuatu dengan benda, materi, atau lebih mudahnya, uang.
Ada uang abang disayang. Tak ada uang, abang ditendang. Maju tak gentar membela yang bayar. Apapun akan dilakukan demi uang. Uang adalah hidup dan mati kita. Ketika uang tak didapat pun, kita tetap tak mau dianggap tak punya uang. Kita rela berhutang sana-sini, atau sewa ini-itu, agar tampil seolah punya banyak uang!
Materialisme itu bergandeng erat dengan keserakahan. Serakah, tamak, rakus, atau loba, adalah tak pernah merasa cukup. Sistem ekonomi kita, yang menekankan pertumbuhan, suka atau tak suka, dipompa oleh nafsu keserakahan.
Katanya, pertumbuhan ekonomi dapat dilihat dari belanja rumah tangga, belanja pemerintah, ekspor-impor, dan investasi. Semakin tinggi permintaan, otomatis akan memicu peningkatan persediaan. Semakin banyak kita mengomsumsi, semakin laju pula produksi, dan semakin cepat distribusi barang dan jasa. Dengan begitu, ekonomi kita semakin “baik”.
Supaya kita terus-menerus ingin membeli dan memiliki, perusahaan mengemas produknya sedemikian rupa agar kita tergoda. Melalui iklan-iklan yang menyebar di media cetak dan elektronik, kita dirayu agar mau membeli barang dan jasa yang sangat mungkin bukan kebutuhan kita.
Lambat laun, kita tidak pandai lagi membedakan antara keinginan dan kebutuhan, antara fungsi dan gengsi. Fungsi laptop adalah untuk menulis, menyimpan data elektronik, atau membuat program tertentu. Fungsi ponsel adalah untuk berkomunikasi. Namun gara-gara merek, fungsi berubah jadi gengsi!
Lebih menyedihkan lagi, kita memaksa diri mengonsumsi sesuatu yang berada di luar kemampuan kita. Lebih besar pasak daripada tiang. Lebih besar keinginan daripada kemampuan.
Tanpa malu kita berhutang sana-sini. Kita rajin mengkredit barang yang tidak benar-benar kita butuhkan. Tiap bulan kita harus menyicil, yang kalau ditotal harganya berlipat-lipat dari harga kontan. Lebih buruk lagi, karena mengkredit sudah menjadi kebiasaan, ketika pendapatan naik, kita merasa rugi jika tidak mengkredit sesuatu yang baru. Akibatnya, kita terus-menurus hidup dari kredit ke kredit.
Masalah kini makin rumit, karena kita hidup di era digital, era media sosial. Melalui media sosial, kita tidak hanya diserbu oleh iklan-ilkan, tetapi juga menyaksikan orang pamer kesuksesan dan kekayaan.
Di sisi lain, setiap orang kini bisa menjadi pewarta yang menyebarkan informasi berupa tulisan, foto, dan video kapan saja. Lambat laun, muncul satu penyakit berbahaya: ambisi ingin diakui. Kita haus puja-puji, entah komentar atau tanda suka. Seolah, tanpa pengakuan orang lain, kita tak berarti apa-apa. Seolah, jika orang lain tak menganggap kita ada, tiba-tiba kita sirna dari muka bumi ini.
Penyakit ingin diakui itu akhirnya menggiring kita kepada kepalsuan. Kita tak mau lagi tampil sesuai keadaan kita. Kita ingin terlihat sempurna. Kita ingin tampak sukses: kaya, berkuasa, dan terkenal.
Karena media sosial hadir di dunia maya, bukan dunia nyata, kepalsuan-kepalsuan itu lebih mudah kita ciptakan. Entah itu dengan menggunakan aplikasi tertentu. Entah itu dengan teknik pengambilan gambar atau penyuntingan yang canggih. Akhirnya kita terbiasa dan tak malu dengan yang palsu. Kita bahkan bangga dengan yang palsu itu. Kita keranjingan memproduksi kepalsuan.
Demikianlah materialisme semakin mencengkeram pikiran dan tindakan kita. Kita lebih menghormati orang yang tampil mewah ketimbang yang tampil sederhana. Kita lebih menghormati orang kaya ketimbang orang yang berilmu dan berakhlak mulia. Kita lebih memilih pemimpin yang bagi-bagi duit ketimbang yang jujur.
Kita lebih mengutamakan deretan gelar sarjana ketimbang keahlian nyata. Kita lebih melihat lilitan sorban dan jubah ketimbang hati yang penuh ilmu dan tahan terhadap godaan dunia. Jika “kita” ini jumlahnya besar, maka anak-anak kita juga akan berperilaku demikian.
Marilah kita merenung. Kapan kita tersadar dari kebahlulan ini? Kapan lagi kita sadar bahwa harta hanya bernilai jika digunakan untuk kebaikan dan dibagikan kepada yang membutuhkan?
Kapan lagi kita sadar bahwa produk-produk teknologi modern hanyalah alat-alat yang membantu pekerjaan kita, bukan penentu apa dan siapa diri kita? Kapan lagi kita sadar bahwa keserakahan hanya akan menimbulkan penderitaan pada diri sendiri dan orang lain, bukan kebahagiaan?